Jakarta (ANTARA News) - Hasil kajian Majelis Eksaminasi yang dibentuk oleh Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum seluruh Indonesia (APPTHI) menyebutkan bahwa Putusan Perkara Nomor 7/Pid.Sus/TPK/2015/PN.JKT.PST dan Putusan Perkara Nomor 01/PID/TPK/2016/PT.DKI terhadap dugaan korupsi yang dilakukan Barnabas Suebu lebih banyak dipengaruhi oleh opini publik.

“Bahwa opini politik cenderung berperan tinggi dalam pengambilan keputusan, namun tetaplah harus dibuktikan agar tidak hanya didasarkan pada prasangka,” kata anggota tim APPTHI Dr M. Syamsuddin, SH. M.Hum dalam pernyataan persnya, Jumat (8/12).

”Dalam putusan PT, majelis hakim telah menerapkan pertimbangan dengan prasangka dan bukan berbasiskan bukti tentang hubungan korupsi yang dilakukan oleh terdakwa dengan organisasi atau kelompok yang menuntut Kemerdekaan Papua,” jelasnya.

Pernyataan Syamsuddin tersebut muncul sebagai bagian dari kajian putusan kasus korupsi yang menjerat Barnabas Suebu. Proses peradilan kasus tersebut awalnya ditangani oleh Pengadilan Tipikor Jakarta yang menjatuhkan hukuman 4,5 tahun penjara. Kemudian atas hasil putusan tersebut jaksa mengajukan banding.

Pada tingkat selanjutnya, berdasarkan hasil putusan Pengadilan Tinggi hukuman ditambah menjadi 8 tahun atau 6 bulan di atas tuntutan KPK. Terlebih dari itu, Pengadilan Tinggi Jakarta menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak dipilih dan memilih dalam pemilihan yang diselenggarakan selama 5 tahun terhitung sejak selesai menjalani masa pidana penjara.

”Penambahan hukuman dengan mencabut hak memilih dan dipilih terlalu sumir, karena putusan dari PT telah lebih tinggi dari putusan peradilan tipikor,” ujar Syamsudin. ”Ditambah lagi dengan usia terdakwa yang sudah mencapai 69 tahun kala divonis dan harus ditambah 8 tahun lagi masa tahanan,” lanjutnya.

Syamsuddin melihat pencabutan hak untuk dipilih dan memilih tersebut dianggap tidak menimbang masalah usia terdakwa ditambah masa hukuman, maka usia terdakwa sudah cukup tua untuk menikmati hidup dengan tenang.

Sedangkan pakar hukum dari Universitas Pasundan Bandung Anthon F. Sutanto mengatakan, keputusan antara PN dan PT terdapat jumping conclusion atau penarikan kesimpulan yang melompat. Hal tersebut, menurutnya, dapat dilihat dalam beberapa hal.

”Argumen jaksa yang menyatakan terdakwa melanggar pasal 2 dan pasal 3 UU Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi dikaitkan dengan Ketentuan Pasal 55 dan Pasal 65 KUHPidana tidak terlihat uraiannya di dalam surat dakwaan,”ujar Anthon. ”Dalam surat dakwaan Jaksa hanya menjelaskan perbuatan terdakwa yang melanggar keuangan Negara namun tidak dikatakan melakukan tindak pidana korupsi seperti pada pasal 2 dan pasal 3,” jelasnya.

Menurut Anthon, seharusnya jaksa tetap menjelaskan dengan rinci unsur-unsur tindak pidana yang tertuang pada pasal-pasal yang menjadi dakwaannya. Ketiadaaan keterangan rinci tersebut menurutnya membuat penting karena surat dakwaan seharusnya memuan secara rinci locus, tempos, dan unsur-unsur tindak pidana yang dilakukan.

Pewarta: antara
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2017