Sekalipun Presiden Joko Widodo dalam berbagai jajak pendapat yang dilakukan oleh berbagai lembaga survei independen memperoleh tingkat elektabilitas yang jauh melampaui pesaing-pesaingnya, tak satu pun pengamat politik memberinya predikat sebagai orang kuat.

Sebaliknya, pengakuan sebagai orang kuat, bahkan "orang sakti yang licin" diberikan oleh beberapa pengamat politik dan jurnalis kepada Setya Novanto, mantan ketua DPR sekaligus mantan ketua umum Partai Golkar yang kini menjalani persidangan tindak pidana korupsi sebagai terdakwa skandal korupsi kartu tanda penduduk elektronik.

Penyebutan Novanto sebagai orang kuat bahkan sakti bisa dimaklumi karena politisi yang sebelumnya sarat dengan berbagai dugaan skandal itu bisa meloloskan diri dari jeratan hukum.

Rekam jejak Novanto yang tak sedap sebagai politisi Partai Golkar tercermin dari rentetan kasus yang pernah didugakan kepadanya. Pada tahun 2000, Novanto tersangkut kasus cassie Bank Bali. Pada kasus ini nama Novanto disebut oleh jaksa dalam perkara yang merugikan negara lebih dari Rp500 milliar. Dalam perkara ini yang terkena vonis penjara hanya pengusaha Djoko S Tjandra dan mantan Gubernur BI Syahril Sabirin.

Novanto pernah diperiksa selama 10 jam dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi untuk penyelundupan impor 60.000 metrik ton beras dari Vietnam. Novanto pun lolos dari proses hukum selanjutnya.

Nama Novanto juga mencuat setelah Muhammad Nazaruddin, mantan Bendaraha Umum Partai Demokrat menjelaskan bahwa Setya Novanto dan Anas Urbaningrum merupakan bos dari proyek KTP elektronik pada tahun anggaran 2011-2012. Bahkan, Nazaruddin juga menyebut kalau Setya Novanto menerima aliran dana sebesar Rp300 miliar untuk proyek besar tersebut.

Novanto juga pernah diduga terlibat dalam suap yang menyeret Akil Mochtar dan Ratu Atut. Setya Novanto dipanggil oleh KPK bersama Sekjen Idurs Marham. Tapi, hanya Akil dan Atut saja yang masuk ke dalam penjara, Novanto tetap lolos dan bebas dari jeratan hukum.

Kasus korupsi anggaran Pekan Olahraga Nasional (PON) XVIII dengan tersangka mantan gubernur Riau Rusli Zainal juga menyeret nama Novanto, yang harus menjalani pemeriksaan di KPK. Ruang kerjanya juga digeledah. Padahal menurut mantan kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Riau Lukman Abbas, Rusli Zainal melakukan pertemuan di ruangan Novanto membahas soal persiapan PON Riau. Rusli selanjutnya divonis 10 tahun penjara, sedang Novanto bebas.

Novanto menambah jejak negatifnya saat Sudirman Said, ketika itu sebagai menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, menyebut ada yang menjual nama Presiden Jokowi dan Jusuf Kalla kepada Freeport. Perkara yang populer dengan julukan "Papa Minta Saham" itu bahkan diperkuat dengan rekaman percakapan antara Novanto dan Maroef Sjamsoedin (Direktur Utama Freeport Indonesia) serta pengusaha Mohammad Riza Chalid.

Dari cacatan sepak terjangnya yang selalu lepas dari jerat hukum itulah, sebutan Novanto sebagai orang kuat bisa dipahami. Namun atribut orang kuat sesungguhnya tak dikenal dalam praksis demokrasi. Bahkan demokrasi yang berjalan di jalur yang benar punya peran untuk menyingkirkan orang-orang kuat seperti yang distigmakan pada Novanto.

Kini orang kuat itu sedang duduk di kursi terdakwa sebagai pesakitan yang harus mengerahkan pembelaannya menghadapi dakwaan jaksa di sidang Tipikor. Jika Novanto terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana didakwakan jaksa, agaknya pertimbangan vonis yang pernah dijatuhkan kepada Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar yang harus meringkuk di penjara seumur hidup layak menjadi yurisprudensi.

Sebagai pejabat yang memimpin lembaga strategis negara, Akil harus memberikan contoh perilaku terpuji. Namun Akil telah memperlihatkan tindakan yang tak terpuji, yang mencemarkan institusi negara. Hakim pun pantas menjadikan dasar pertimbangan vonis itu bagi siapa pun yang tidak memberikan contoh terpuji saat memimpin lembaga strategis negara.

Tiada rekam jejak negatif

Terlepas apakah Novanto bisa lepas dari jeratan hukum di sidang Tipikor atau tidak, sinar kemuliaan demokrasi setidaknya sudah mulai terlihat di tubuh internal Partai Golkar. Airlangga Hartarto, yang tak punya rekam jejak negatif, menggantikan Novanto.

Perubahan kepemimpinan politik di tubuh Partai Golkar dari orang kuat yang bersengkarut dengan berbagai dugaan korupsi kepada sosok yang bersih merupakan berkah demokrasi. Sebagai parpol besar setelah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar diharapkan menghembuskan angin segar demokratis itu menyebar ke skala perpolitikan nasional.

Yang pantas dipuji dari Airlangga setelah terpilih sebagai Ketua Umum Pertai Golkar adalah tekadnya untuk mewujudkan citra Golkar sebagai partai yang bersih. Di sinilah makna berpolitik secara etis diejawantakan dalam merebut dan mempertahankan kekuasaan.

Esensi untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan secara etis harus tercermin di semua lini pemilihan pemimpin politik. Pertanyaan yang pokok/krusial yang pantas menjadi pekerjaan rumah bagi Airlangga adalah: sanggupkah Golkar menghentikan praktik politik uang, yang pada akhirnya dapat menurunkan biaya politik yang begitu mahal?

Di titik itulah benih korupsi dimulai. Jika Airlangga Hartarto sanggup mengikis secara perlahan namun pasti praktik-praktik kotor politik uang itu dalam kepemimpinannya di tubuh Partai Golkar, tidak mustahil Airlangga punya peluang kuat untuk menjadi orang nomor satu di negeri ini, setidaknya lewat pertarungan dalam Pilpres 2024.

Pewarta: Mulyo Sunyoto
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2017