Cox's Bazar (ANTARA News) - "Halo, bye" teriak anak-anak Rohingya di pengungsian Madhuchara, di Kutupalong, Cox's Bazar, Bangladesh, Kamis Mereka lalu tertawa, mata mereka tampak berbinar-binar saat melihat ada "tamu asing" di tempat mereka tinggal saat ini.

Anak-anak pengungsi Rohingya di Madhuchara, Cox's Bazar, Bangladesh, Kamis (21/12). (ANTARA News/Monalisa)



Sepertinya mereka sudah cukup terbiasa dengan kehadiran orang-orang asing. Mereka bahkan tidak malu-malu saat kami hendak mengambil gambar mereka, bahkan berebut ingin ikut difoto.


Sambutan manis dari anak-anak Rohingya tersebut langsung meluruhkan keletihan perjalanan menuju Cox's Bazar yang cukup berliku.


ANTARA News bersama beberapa media dan relawan Aksi Cepat Tanggap seharusnya sudah tiba di Cox's Bazar pada Rabu (20/12) sore.


Namun, di luar rencana, kami terpaksa harus menghabiskan semalam di Dhaka, Ibu Kota Bangladesh.


Perjalanan kami dari Jakarta menuju Dhaka dan sempat transit di Kuala Lumpur itu sebenarnya cukup mulus. 


Kendala dimulai saat pesawat yang kami tumpangi dari Kuala Lumpur mendarat di bandara internasional Hazrat Shahjalal di Dhaka, Bangladesh, Rabu siang.


Pesawat kami mendarat sekitar pukul 12.00-an siang. Tetapi, penumpang belum dibolehkan turun. Hingga hampir satu jam, kami menunggu tanpa ada pemberitahuan yang jelas. 


Penumpang yang akan melanjutkan perjalanan dengan pesawat domestik mulai gelisah, termasuk kami dari tim media dan ACT.


Setelah satu jam lebih "terjebak" di dalam, akhirnya kami diperintahkan turun dari pesawat. Dan ternyata, sejak tadi kami terjebak di dalam pesawat karena tangga untuk turun belum tersedia.


Hal ini tentu saja mengherankan bagi kami, karena kami mendarat di bandara terbesar di Bangladesh. Namun, sepertinya beberapa penumpang dari Bangladesh cukup terbiasa dengan hal tersebut karena tidak ada protes dari mereka yang dengan sabar menunggu, tidak seperti kami.


Setelah bisa turun dari pesawat, masalah belum juga selesai. Kali ini kami harus menunggu bis yang akan mengantarkan ke terminal kedatangan. Lagi-lagi kami harus menunggu, padahal penerbangan selanjutnya ke Cox's Bazar sudah semakin mepet.


Sekitar 30 menit kemudian, bis jemputan datang dan langsung diserbu para penumpang. Alhasil, kami harus berdempet-dempetan di dalam bis yang termasuk berusia cukup tua jika dibandingkan dengan bis-bis di Indonesia.


Sampai di terminal kedatangan, kami masih belum bisa tenang karena antrean di pemeriksaan imigrasi mengular panjang. Sementara jam sudah menunjukkan pukul 14.30 tepat dengan waktu penerbangan pesawat kami ke Cox's Bazar. Meski demikian, kami masih berharap pesawat tersebut "delay".


Namun harapan itu pupus karena dengan visa jurnalis, kami harus melalui rangkaian yang lebih panjang. Saat dicek petugas imigrasi dan mengetahui bahwa kami jurnalis, petugas lainnya kemudian membawa kami ke tempat berbeda. Mereka mencecar terkait keperluan kami datang ke Bangladesh.


Seusai berhasil "lolos" dari petugas imigrasi, kami segera mengambil barang-barang kami yang dititipkan di bagasi pesawat. Tas dan peralatan kami tergeletak di dekat pengambilan barang bagasi. Setelah dicek, ada satu koper milik jurnalis RTV yang rusak berat.


Tetapi kami tidak bisa berlama-lama karena masih ingin mencoba mengejar pesawat ke Cox's Bazar. Setelah berlari-lari ke terminal domestik, pesawat menuju Cox's Bazar ternyata sudah terbang meninggalkan kami.


Cox's Bazar dikenal sebagai kota wisata di Bangladesh karena memiliki wisata laut dan konon salah satu pantai terpanjang di dunia ada di sana.


Usaha kami untuk mencari penerbangan selanjutnya pun nihil karena di musim liburan, Cox's Bazar banyak dikunjungi wisatawan.


Dengan sangat terpaksa, kami menginap semalam di Dhaka.





Semalam di Dhaka


Dhaka merupakan Ibu Kota Bangladesh. Dhaka adalah kota dengan kemacetan yang tidak kenal waktu dan bunyi klakson yang beradu-adu di udara yang penuh polusi itu.


Ya, kesan pertama kami untuk Dhaka adalah macet dan bunyi klakson. Bahkan ada yang bilang kepada kami bahwa di Bangladesh lebih baik rem kendaraan rusak daripada klaksonnya yang rusak.


Saat perjalanan menuju hotel kami juga menjadi tahu bahwa cara berkendaraan di kota tersebut begitu semerawut. Mobil-mobil bisa berbelok atau melawan arah sesuka hati mereka. Lagi-lagi, bunyi klakson sepertinya tidak pernah berhenti dari pendengaran.




Kemacetan di Dhaka, Bangladesh (ANTARA News/Monalisa) (ANTARA News/Monalisa)

Tiba di Cox's Bazar 


Keesokan paginya sekitar pukul 06.30 kami bergegas menuju bandara dan tentu saja sudah disambut macet yang semerawut.

Suhu hari itu tercatat 17 derajat celcius, kabut yang cukup pekat yang bercampur dengan polusi kendaraan membayangi pandangan kami pagi itu.




Bandara Dhaka Bandara internasional Hazrat Shahjalal di Dhaka, Bangladesh, Rabu siang. (ANTARA News/Monalisa)



Kabut pula yang membuat penerbangan kami harus ditunda hampir sejam. Pesawat kami terjadwal terbang pukul 08.15 namun sekitar pukul 09.30, pesawat kami baru bisa meluncur ke Cox's Bazar.


Sejam kemudian, pesawat kami akhirnya mendarat di bandara Cox's Bazar. Setelah meletakkan barang-barang di hotel kami langsung menuju ke lokasi pengungsian. Kami harus bergegas ke sana karena di atas pukul 17.00, militer Bangladesh melarang ada aktivitas di kamp pengungsian. Sementara jarak dari penginapan ke kamp pengungsian sekira 2 jam perjalanan menggunakan mobil.


Setiba di lokasi pengungsian, sejauh mata memandang kami melihat tenda-tenda pengungsi tersebar luas. Sebelum ke tenda pengungsian, kami menuju klinik ACT. Pengungsi Rohingya yang berobat tidak pernah berhenti.




Pasien sedang berobat di Klinik Aksi Cepat Tanggap di Kutupalong, Cox's Bazar, Bangladesh, Kamis (21/12). (ANTARA News/Monalisa)



Pada hari ini bahkan terdapat 89 pasien yang berobat di klinik tersebut. Penyakit yang mereka derita rata-rata infeksi pernapasan, infeksi pencernaan, dan penyakit kulit.


Wabah penyakit terus mengancam pengungsi karena padatnya kamp pengungsian dan gaya hidup para pengungsi yang tidak sehat.


Saat ANTARA News berkunjung ke lokasi pengungsian di Madhuchara, di Kutupalong, Cox's Bazar, kotoran manusia sering terlihat di jalan-jalan sekitar tenda meskipun sudah ada WC umum.


Anak-anak di sana juga banyak yang tidak memakai baju dan alas kaki.


Mereka membaur bersama anak-anak pengungsi lainnya. Menurut data PBB, lebih dari separuh pengungsi Rohingya merupakan anak-anak dan sekitar 14.000 anak kehilangan orang tua mereka.


Bertubi-tubi pengalaman pahit yang harus mereka rasakan di usia yang masih muda tidak membuat keceriaan mereka hilang. Bahkan di tempat pengungsian, anak-anak tersebut tidak kehabisan tawa dan keceriaan mereka. Barang apapun, termasuk bungkus plastik bekas makanan bisa menjadi permainan mereka bersama teman-teman.




Anak-anak pengungsi Rohingya sedang mengaji di madrasah yang didirikan lembaga kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap di Madhuchara, Cox's Bazar, Bangladesh, Kamis (21/12). (ANTARA News/Monalisa)

Selain bermain, mereka juga tidak lupa mengaji. Kami sempat melihat belasan anak-anak yang sedang mengaji di madrasah yang didirikan oleh ACT.


Tak jauh dari situ, belasan anak bermain bola dan voli. 

Anak-anak pengungsi Rohingya di Madhuchara, Kutupalong, Cox's Bazar, Bangladesh, Kamis (21/12). (ANTARA News/Monalisa) (ANTARA News/Monalisa)

"Anak-anak sudah terlihat ceria. Kalau dulu (awal tiba di tempat pengungsian), tidak ada anak yang terlihat bermain," kata Anca Rahadiansyah, Supervisor Disaster Recovery Program ACT.


Dan keceriaan anak-anak itu juga menjadi obat penawar kesedihan kami saat menyaksikan para pengungsi Rohingya yang terdampar di ujung tenggara Bangladesh itu.

Pewarta: Monalisa
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2017