Cox's Bazar (ANTARA News) - Seorang pengungsi mendatangi Klinik Aksi Cepat Tanggap (ACT), tak jauh dari kamp pengungsi Rohingya Kutupalong, Cox's Bazar, Kamis (21/12).

Sebagian wajahnya dipenuhi bentol-bentol, ia juga mengeluh sesak napas dan batuk.

Dokter Izza Aliya yang memeriksa pasien tersebut langsung mengecek bagian dalam tenggorokan si pasien, karena wabah difteri kabarnya sudah mulai merebak di kawasan pengungsian.

"Ini hanya infeksi pernapasan bagian atas," kata Dokter Izza.




Pasien sedang berobat di Klinik Aksi Cepat Tanggap di Kutupalong, Cox's Bazar, Bangladesh, Kamis (21/12). (ANTARA News/Monalisa) 

Pasien yang mendatangi klinik dengan berjalan kaki dari kamp pengungsiannya itu langsung diberi obat-obat yang dibutuhkan.

Pasien masih terus berdatangan. Menurut data di Klinik ACT, penyakit yang rentan menyerang pengungsi Rohingya antara lain infeksi pernapasan, infeksi pencernaan, cacingan, dan penyakit kulit.


(ANTARA News/Monalisa)

Dokter Arini retno palupi yang Kamis kemarin kembali ke Jakarta setelah dua minggu berjaga di Klinik ACT mengatakan belum ada kasus difteri yang ditemui di klinik tersebut.

"Kalau difteri saya belum pernah temukan, yang paling sering itu cacingan karena mereka jarang pakai alas kaki dan baju, terutama yang anak-anak," jelas Dokter Arini.

Sepanjang hari Kamis kemarin, sebanyak 89 pasien berobat di Klinik ACT.

"Tadi ada pasien yang mengeluh sulit berjalan normal. Kakinya ditembak sebelum ia melarikan diri dari Myanmar ke Bangladesh, lalu kakinya menjadi infeksi," ungkap Dokter Izza.


Tahap transisi pemulihan

(ANTARA News/Monalisa)

Sejak meletusnya kerusuhan di Negara Bagian Rakhine, Myanmar Utara, pada 25 Agustus, sekitar 650.000 warga Rohingya menyelamatkan diri ke Bangladesh.

Supervisor Disaster Recovery Program ACT Anca Rahadiansyah mengatakan saat ini di kawasan pengungsian Rohingya sudah memasuki transisi pemulihan.

"Fase emergency sudah berlalu karena pengungsi sudah mendapat pangan, pakaian, dan intervensi medis. Para pengungsi sudah bisa masak sendiri, mereka sudah mulai beraktivitas dan mencari uang misal berdagang," tutur Anca.

Di kawasan pengungsian, kerap ditemukan warung makanan yang milik pengungsi. Sejumlah anak-anak juga terlihat bermain di sekitar kawasan pengungsian.

"Anak-anak sudah terlihat ceria. Kalau dulu tidak ada yang bermain bola," kata Anca yang sudah berada di Bangladesh sejak awal September itu.

"Saat ini ACT fokus membangun 1.000 hunian sementara dan rumah yatim piatu karena banyak anak-anak  di sini yang sudah kehilangan orang tua mereka," tambah Anca.

Dari 1.000 hunian sementara, sudah 600-an penampungan yang sudah dibangun.

Anca menambahkan program kesehatan juga menjadi prioritas utama ACT.

"Klinik tetap harus ada. Kebutuhan kesehatan pasti dibutuhkan sampai kapan pun," ujar Anca.

ACT memiliki satu klinik di Cox’s Bazar dengan dua dokter dan satu apoteker yang merupakan relawan dari Bangladesh. Sementara satu dokter lagi dari Indonesia yang bergantian datang.

ACT juga menyediakan satu klinik yang berkeliling ke posko-posko pengungsian.

Selain memberikan pelayanan kesehatan, tim media ACT juga memberikan trauma healing, pembangunan mental, serta edukasi kesehatan seperti pelatihan cuci tangan dan sikat gigi.

"Banyak perempuan yang menjadi janda bahkan menyaksikan bagaimana suami mereka dibunuh, dibakar, dan digantung. Mereka mengalami trauma dan pada awalnya tidak mau keluar tenda. Tetapi setelah mengikuti pemulihan, mereka mulai terbuka, saling bercerita dan menguatkan," ungkap Dokter Arini.

"Sejak menjadi pencari suaka, konsep hidup sehat dan bersih mereka berubah. Yang penting bisa hidup. Maka kami memberikan edukasi kesehatan agar mereka menjalani hidup sehat dan bersih," tambahnya.









Pewarta: Monalisa
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2017