Jakarta (ANTARA News) - KPK mendalami peran mantan Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) Dorodjatun Kuntjoro-Jakti dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim terkait pinjaman Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

"Surat itu ditandatangai saksi (Dorodjatun) sebagai ketua KKSK, KPK ingin tahu bagaimana proses pembuatan surat usulan pengajuan SKL, siapa yang mengusulkan dan juga proses perdebatan seperti apa," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK Jakarta, Selasa.

Dorodjatun diperiksa untuk tersangka mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung yang sudah ditahan sejak 21 Desember 2017. Dorodjatun juga sudah pernah diperiksa dalam kasus yang sama pada 4 Mei 2017 lalu.

"Karena ada tahapan sebelum SKL terbit seperti pengklasifikasian utang dan agar kewajiban utang selesai sehingga SKL terbit, ternyata ada kewajiban utang yang belum selesai dan BPK juga menemukan kerugian negara di sana," tambah Febri.

KPK juga sudah berkoordinasi dengan Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) atau KPK di Singapura untuk mendapatkan keterangan dari seorang saksi dari pihak swasta di Singapura.

Selain pemeriksaan sejumlah saksi, KPK juga sedang melakukan penelusuran aset termasuk aset-aset Sjamsul yang berada di Indonesia agar dapat dilakukan pengembalian kerugian negara.

KPK sebelumnya juga telah memeriksa mantan Wakil Presiden Boediono sudah diperiksa KPK sebagai saksi pada 28 Desember 2017.

Pemeriksaan Boediono tersebut dilakukan dalam kapasitasnya sebagai mantan Menteri Keuangan 2001-2004 atau pada saat kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri, dan merupakan inisiatif Boediono sendiri.

Selain Dorodjatun dan Boediono, KPK sudah memeriksa pengacara Todung Mulya Lubis pada 22 Desember 2017 sebagai saksi dalam kasus yang sama. Todung diketahui adalah kuasa hukum BPPN saat Syafruddin menjabat.

KPK menetapkan mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Tumenggung sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim.

SKL diterbitkan berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitor yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan pemeriksaan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).

Inpres itu dikeluarkan pada saat kepemimpinan Presiden Megawati yang juga mendapat masukan dari Menteri Keuangan Boediono, Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjara-djakti dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi. Berdasar Inpres tersebut, debitur BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang, meski baru melunasi 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN.

Syafruddin diduga mengusulkan pemberian Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham atau SKL kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham atau pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) pada 2004.

Syafruddin mengusulkan SKL itu untuk disetujui Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dengan melakukan perubahan atas proses ligitasi kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh BDNI ke BPPN sebesar Rp4,8 triliun yang merupakan bagian dari pinjaman BLBI.

Sehingga hasil restrukturisasinya adalah Rp1,1 triliun dapat dikembalikan dan ditagihkan ke petani tambak sedangkan Rp3,7 triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restrukturisasi. Artinya ada kewajiban BDNI sebesar Rp3,7 triliun yang belum ditagihkan dan menjadi kerugian negara.

BLBI adalah skema bantuan (pinjaman) yang diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas saat krisis moneter 1998 di Indonesia. Skema untuk mengatasi masalah krisis ini dilakukan berdasarkan perjanjian Indonesia dengan IMF.

Bank Indonesia sudah mengucurkan dana hingga lebih dari Rp144,5 triliun untuk 48 bank yang bermasalah agar dapat mengatasi krisis tersebut. Namun penggunaan pinjaman ternyata tidak sesuai dengan ketentuan sehingga negara dinyatakan merugi hingga sebesar Rp 138,4 triliun karena dana yang dipinjamkan tidak dikembalikan.

Terkait dugaan penyimpangan dana tersebut, sejumlah debitur kemudian diproses secara hukum oleh Kejaksaan Agung tapi Kejaksaan mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kepada para debitur dengan dasar SKL yang diterbitkan oleh BPPN.

Syafruddin pun sempat mengajukan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, namun Hakim Tunggal Effendi Mukhtar menolak seluruh permohonan praperadilan yang diajukannya dalam pembacaan putusan pada 2 Agustus 2017 lalu.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018