Isyarat bahwa masih banyak tokoh masyarakat yang ingin menyaksikan demokrasi di Tanah Air berjalan secara bermartabat bisa dibuktikan dari banyaknya ajakan untuk menghindari kampanye hitam dan menebar fitnah di Pilkada Serentak 2018.

Ajakan itu salah satunya disampaikan oleh Presiden Joko Widodo saat menjawab pertanyaan wartawan setelah memberikan kuliah umum di Universitas Muhammadiyah Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, pekan ini.

Ajakan untuk menghindari kampanye negatif tentu penting bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Untuk menang secara bermartabat dalam kompetisi apa pun, termasuk meraih kursi kekuasaan di Pilkada Serentak 2018, sang kompetitor mesti punya kesadaran bahwa kemenangan yang elegan harus dicapai dengan jujur, sportif dan tidak menistakan lawan.

Dalam filsafat atau kosmologi Jawa, yang tentu saja dihayati dengan sepenuhnya oleh Jokowi, ada semboyan yang kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berbunyi kurang lebih begini: kemenangan tak boleh membuat lawan atau pecundang merasa ternista.

Filsafat demikian tentu juga dikenal di semua kultur atau etnis Nusantara meskipun diujarkan dalam rumusan kalimat dan bahasa yang berbeda-beda. Itu sebabnya, berkampanye untuk merebut kursi kekuasaan perlu dilakukan secara beradab, beretika, menjunjung nilai-nilai yang menyatukan kebangsaan.

Realisasi berkampanye secara beradab bisa dilakukan dengan berbagai cara. Seorang kontestan pilkada di Jawa Barat, misalnya, punya komitmen untuk berkampanye dengan basis temuan ilmiah.

Gagasan ini tentu bisa diterima sebagai salah satu metode berkampanye yang ideal. Apa makna berkampanye berdasarkan temuan ilmiah?

Yang pertama, pekampanye tentu hanya akan mengungkapkan fakta-fakta yang bisa diverifikasi secara ilmiah. Di sini jelas bahwa fitnah bukanlah fakta ilmiah.

Namun, memaknai kampanye secara ilmiah ini perlu hati-hati dan perlu disertai landasan etika. Sebagai contoh, jika ada seorang kontestan Pilkada yang faktanya adalah anak atau kerabat dekat dari seorang aktivis politik yang terlibat dalam gerakan komunisme yang terlarang, fakta itu tentu tak bisa dieksploitasi untuk menistakan kontestan bersangkutan.

Justru politisi yang mengungkit-ungkit status kedekatan atau relasi sang kontestan dengan gerakan komunisme di era 60-an jelas-jelas memperlihatkan ketidakilmiahan yang mencolok. Hampir semua kontestan yang saat ini sedang bertarung dalam Pilkada 2018 bisa diperkirakan berusia balita ketika sebuah partai yang berideologi komunisme itu dilarang.

Usang
Dari sudut pandang usia politisi yang bertarung dalam Pilkada 2018, semua wacana tentang keterlibatan kontestan pilkada dalam gerakan komunisme mestinya dianggap usang dan tak perlu diangkat lagi.

Pemaknaan terhadap ide berkampanye secara ilmiah juga bisa dalam cara berikut: sang kontestan Pilkada 2018 menyusun program-program kerjanya dengan memanfaatkan hasil-hasil riset tentang kekurangan dan kelebihan daerah tempat kontestan itu bertarung memperebutkan kursi kekuasaannya.

Misalnya, untuk memperebutkan kursi kekuasaan di kota yang dilanda problem sampah yang parah, sang calon kepala daerah bisa meyakinkan pemilihnya dengan ide membangun sistem pengolahan limbah sampah secara modern dengan mengacu pada negara-negara maju yang sukses mendaur ulang limbah sampah, baik sampah domestik maupun sampah industri.

Tampaknya itulah yang antara lain dimaksudkan oleh Jokowi ketika mempersilahkan kontestan Pilkada 2018 untuk saling adu prestasi, adu rekam jejak, adu ide atau gagasan, adu program, adu rencana-rencana.

Kampanye negatif dan hitam tentu bisa muncul dari sumber-sumber yang sulit dilacak asal-usulnya. Bisa jadi para kontestan dan tim suksesnya tak melakukan kampanye hitam dan negatif. Tapi, lewat media sosial yang diikuti dan dihidupi oleh jutaan pendukung masing-masing kontestan yang berlaga dalam Pilkada 2018, sangat mungkin kampanye hitam, negatif dan fitnah muncul tanpa diketaui siapa pelakunya.

Mundurnya bakal calon wakil gubernur Jatim Abdullah Azwar Anas yang hendak mendampingi calon gubernur Jatim Saifullah Yusuf akibat ulah "oknum" yang melakukan pembunuhan karakter lewat penyebaran foto-foto tak patut menandakan bahwa kampanye hitam masih sangat potensial dijadikan kiat menjatuhkan lawan politik.

Politik menghalalkan segala cara agaknya perlu dikikis secara evolusioner namun pasti.

Tampaknya, isu suku, agama, ras dan antargolongan, yang populer dengan akronim SARA juga rentan dijadikan bahan menghantam lawan politik dalam Pilkada 2018.

Isu ini memang cukup efektif dalam memengaruhi para pemilih yang memiliki sikap primordial dan sektarian yang cukup kuat. Di kalangan pemilih yang pendidikan dan pengalaman pergaulannya terbatas, isu SARA sering berhasil dalam memengaruhi perilaku pemilih dalam pencoblosan suara.

Namun, sesungguhnya ada kecenderungan positif di kalangan pemilih di Tanah Air setelah reformasi 1998. Para pemilih yang rata-rata mengenyam pendidikan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama justru cenderung memilih figur-figur selebritas seperti pesinetron, pelawak, artis ketika melakukan pencoblosan dalam pemilu maupun pilkada.

Artinya, mereka tak peduli lagi dengan isi wacana kampanye yang bertema SARA. Mereka memilih idola mereka karena keterkenalan sang kontestan dalam pemilu atau pilkada.

Mereka, para pemilih itu, agaknya lebih percaya pada integritas idola mereka daripada mempercayai integritas politisi, apalagi yang punya citra negatif.

Dengan munculnya sejumlah elite politik yang telah membuktikan integritas mereka lewat kinerja mereka selama memimpin di ranah kota atau kabupaten, agaknya ajakan Jokowi untuk menang secara kesatria dalam kontes politik di Pilkada 2018 bukan ilusi semata meskipun sejumlah fenomena fitnah dalam perebutan kuasa masih ditemui.

Pewarta: Mulyo Sunyoto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2018