Jakarta (ANTARA News) - Anggota DPR RI Satya W Yudha menyatakan penutupan tambang emas di Poboya Palu Sulawesi Tengah tidak mudah lantaran perusahaan yang beroperasi memiliki Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

"Yang memiliki kewenangan itu (pemerintah) pusat," kata Satya di Jakarta, Rabu.

Satya menanggapi beberapa pihak yang mendesak penutupan pertambangan tambang emas di Poboya lantaran penggunaan zat kimia berbahaya merkuri.

Satya mengatakan perusahaan pertambangan emas di Poboya yang memiliki IUPK telah melalui sejumlah tahapan analisa dan kajian sebelum resmi beroperasi.

Wakil Ketua Komisi VII DPR RI itu menjelaskan dulu rakyat menambang emas secara konvensional di Poboya menggunakan merkuri namun saat ini sudah tidak memanfaatkan zat kimia berbahaya tersebut.

Satya menyatakan elemen masyarakat atau penggiat lingkungan yang menemukan penggunaan merkuri dapat menyerahkan bukti kepada lembaga berwenang agar diinvestigasi.

Dari hasil investigasi tersebut, menurut Satya, lembaga berwenang akan menjatuhkan sanksi sesuai tingkat pelanggaran berdasarkan undang-undang tentang lingkungan hidup.

"Jika ada dugaan pelanggaran tak lantas hal tersebut dapat dijadikan alasan menutup tambang," tutur Satya.

Ia menjelaskan ada beberapa mekanisme untuk menjatuhkan sanksi terhadap perusahaan yang melanggar berdasarkan tingkat regulasi seperti undang-undang dan peraturan gubernur.

Sebelumnya, Direktur Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) Ditjen Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Yun Insiani mengungkapkan saat ini masyarakat Poboya menambang emas menggunakan sianida.

KLHK mengobservasi area pertambangan Poboya dengan mengambil sampel sejak Maret-Agustus 2017, kemudian ditemukan unsur merkuri pada rambut penambang namun hal itu diakibatkan penggunaan merkuri pada beberapa tahun sebelumnya.

KLHK juga telah mengedukasi masyarakat agar menggunakan sianida dan meninggalkan merkuri untuk menambang lantaran lebih aman terhadap lingkungan.

Pewarta: Taufik Ridwan
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018