Kotabaru (ANTARA News) - Perusahaan tambang bijih besi PT Sebuku Iron Lateritic Ores (SILO) telah membangun smelter atau pabrik pengolahan dan pemurnian hasil tambang senilai, 170 juta US dollar atau sekitar Rp2,2 triliun di Pulau Sebuku, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan.

"Pabrik smelter tersebut kini berhenti produksi, karena perusahaan tidak melakukan penambangan bahan baku berupa bijih besi sejak November 2017," kata Manajer Operasional PT SILO Henry Yulianto, Kamis.

Dikatakan, sejak November SILO tidak melakukan penambangan, karena masih menunggu izin perpanjangan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dari Pemprov Kalimantan Selatan.

Akibat terhentinya operasi tersebut, manajemen SILO terpaksa merumahkan sekitar 500 karyawannya. Namun demikian, hak-hak karyawan tetap diterimakan utuh.

Staf Ahli Bidang Kemasyarakatan dan Sumber Daya Manusia Setda Kotabaru, H Hasbi M Thawab, saat rapat koordinasi di DPRD menjelaskan di lokasi PT SILO di Sebuku, kini sudah tidak ada aktivitas lagi.

"Kami menyayangkan, pabrik smelter yang sudah dibangun dengan begitu kokoh dan dibangun dengan biaya yang sangat besar kini menganggur," ucapnya.

Padahal, seandainya deposit bijih besi di Kotabaru habis, perusahaan bisa mendatangkan bahan baku dari luar karena pabriknya sudah dibangun di Pulau Sebuku, tambahnya.

Hasbi meminta semua pihak untuk bisa bersama-sama membantu masalah yang dihadapi SILO terkait perpanjangan izin IPPKH.

"Terkait IPPKH saya tau sedikit," kata mantan Kepala Dinas Kehutanan Kotabaru tersebut.

Henry menambahkan, pihaknya banyak menerima tawaran pemilik modal untuk menambah investasi di Kotabaru. Namun keinginan investor-investor tersebut belum dapat dilayani, karena SILO sendiri masih menghadapi persoalan-persoalan yang belum terselesaikan.

Ia berharap, Pemkab Kotabaru dan Pemprov Kalimantan Selatan, untuk mendukung kebijakan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) mempermudah masuknya investasi di daerah.

SILO di Kotabaru bukan hanya mau masuk, tetapi sudah ada sejak 2004 dan bahkan sudah berinvestasi hingga triliunan rupiah.

Keberadaan perusahaan SILO di Kotabaru, sudah sangat dirasakan oleh masyarakat Kotabaru, khususnya masyarakat di Pulau Sebuku dan sekitarnya.

Ribuan tenaga kerja lokal sudah dipekerjakan oleh perusahaan, program CSR yang sudah "membumi" juga telah memberikan dampak positif bagi dunia pendidikan, olah raga, ekonomi kerakyatan, sosial keagamaan, dan yang lainnya.

Corporate HRD PT SILo Rika Sambiran menjelaskan, November 2017 manajemen SILO berencana untuk melakukan pemutusan hubungan kerja karyawannya karena industri smelter tidak bisa beroperasi disebabkan tidak ada bahan baku.

"Rencana tersebut disampaikan kepada karyawan. Namun sampai saat ini pihak perusahaan juga tidak melakukan PHK," tuturnya.

Sekitar 500 orang karyawan masih berharap untuk tidak ada PHK, dan mengharapkan perusahaan bisa menyelesaikan persoalan yang menyebabkan perusahaan tidak beroperasi.

Hingga Januari 2018 masih sekitar 873 orang yang bekerja di perusahaan. Sebanyak 350 orang karyawan kontraktor, dan sekitar 533 orang karyawan perusahaan.

"Sekitar 75 persen karyawan tersebut, merupakan warga lokal," ucapnya.

Sementara itu, Advisor Corporate Social Responsibility (CSR) PT.SILO Setia Budi, menambahkan, pembangunan smelter tersebut merupakan salah satu ketaatan dan kepatuhan yang menjadi keniscayaan perusahaan.

"Sesuai Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, maka perusahaan membangun industri pemurnian yang disebut smelter senilai 170 juta US dollar," tambahnya.

Menurut Setia Budi, pembangunan smelter yang bernilai jutaan dolar itu sebagai salah satu bentuk keseriusan perusahaan untuk berinvestasi di Kotabaru.

Pewarta: Imam Hanafi
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018