Jakarta (ANTARA News) - Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dalam waktu dekat akan menggelar rekonsiliasi antara para mantan terpidana kasus terorisme dengan para korban yang terdampak oleh aksi terorisme yang terjadi di sejumlah daerah di Indonesia.

“Tadi dalam rapat kami sampaikan bahwa dalam waktu dekat kita akan menggelar rekonsiliasi antara korban dari aksi teror yang pernah terjadi di Indonesia untuk kita pertemukan dengan para mantan pelaku teror yang sudah menyadari akan kesalahan perbuatannya dimasa lalu,” kata Kepala BNPT Komjen Pol. Sujardi Alius di Kantor Menkopolhukam di Jakarta, Senin.

Usai Rapat Koordinasi Khusus tingkat menteri untuk memberikan guidence mengenai laporan sinergi penanggulangan terorisme dengan 34 kementerian/lembaga (K/L) periode Juli 2016 - Desember 2018 kepada Menkopolhukam Jenderal TNI (Purn) Wiranto, Suhardi Alius mengatakan bahwa Indonesia diakui dunia dalam pendekatan soft approach penanggulangan terorisme.

Dan sekarang BNPT juga mengurusi pada korban aksi terorisme sejak pascakejadian hingga pemulihan psikologis mereka.

“Korban aksi terorisme ini ada asosiasinya. Lalu untuk mantan pelaku teror yang sadar dan kembali ke NKRI lalu sekarang ikut bersama BNPT, jumlahnya ada sekitar 120 orang. Para mantan ini sudah berkumpul bersama-sama kami dan menyadari kesalahannya. Lalu kita ambil sebagai narasumber dalam rangka berhadapan dengan kelompok-kelompok yang potensial radikal,” ujar alumni Akpol tahun 1985 ini.

Dengan telah sadarnya para mantan pelaku teror untuk tidak lagi mengulangi perbuatannya itulah kemudian BNPT  menginisisasi untuk mempertemukan mereka dengan para korban aksi teror, baik korban bom Bali, Kedubes Australia, JW Marriot, dan lainnya.

Dalam rekonsiliasi tersebut, selain mengundang 34 K/L terkait BNPT juga akan mengundang pihak lainnya seperti Panitia Kerja (Panja), Panitia Khusus (Pansus) Revisi Undang-undang Terorisme dan Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP), juga para pemimpin redaksi media dari dalam dan luar negeri.

“Ini segera kita laksanakan sekitar akhir Februari ini untuk bisa memberikan kedamaian di masyarakat dan juga dunia bahwa Indonesia itu sejuk dan damai,” ujar jenderal bintang tiga kelahiran Jakarta, 10 Mei 1962 ini seperti dikutip dalam siaran pers.

Dalam Rakorsus dengan menkopolhukam, mantan Kapolda Jawa Barat ini juga melaporkan mengenai telah tuntasnya pembangunan boarding school atau pesantren yang menampung anak-anak dari mantan pelaku aksi terorisme di Medan dan Lamongan, agar anak-anak itu tidak mengikuti jejak orang tuanya dimasa lalu.

Boarding school ini juga sudah menjadi merek dunia serta sudah dipaparkan Suhardi Alius di pertemuan Dewan Keamanan (DKK) PBB.

Menurut mantan Kepala Divisi Humas Polri ini, Rakorsus juga menginformasikan mengenai hal—hal yang perlu diwaspadai terkait kembalinya para retureness dari Suiriah terutama terhadap anak-anak yang didiknya, sangat 'radikal' karena mereka tidak dididik sebagaimana anak-anak pada umumnya.

“Itu perlu kita waspadai. kita tidak ngomongin orang tuanya yang tentunya lebih parah lagi. Tetapi beban anak-anak ini yang harus kita waspadai,” ucap Suhardi yang juga menginginkan peran pemerintah daerah dalam penanggulangan terorisme.

Sementara Menkopolhukam Wiranto dalam jumpa persnya usai rakorsus tersebut menekankan kembali bahwa rekonsiliasi yang diinisiasi BNPT tersebut akan dilaksanakan akhir Februari 2018. Pemerintah akan mengupayakan cara baru yang dianggap lebih manusiawi untuk pencegahan radikalisme terulang kembali dari para mantan narapidana terorisme.

"Kami sedang mengembangkan lagi satu rekonsiliasi antara pelaku atau eks pelaku terorisme atau yang kita kenal eks napi terorisme dan keluarga korban terorisme. Nanti para mantan pelaku terorisme itu akan meminta maaf secara langsung kepada keluarga korban terorisme,” ujar Wiranto.

Wiranto menambahkan bahwa rekonsiliasi tersebut dilakukan agar tidak ada lagi kebencian keluarga korban kepada mantan narapidana terorisme. “Nanti mantan napi terorisme ini akan menyatakan permintaan maaf, penyesalannya, bahwa yang mereka lakukan itu adalah sesuatu yang melampui batas, sesuatu yang tidak pantas, sesuatu yang menyakitkan banyak orang.”

Pewarta: Suryanto
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2018