Dalam berbagai kisah inspiratif tentang kehidupan guru, adjektiva inspiratif secara semantik memuat multitafsir, yang tentu saja semua tafsir terhadap sebuah istilah lazim dan sah.

Ada seorang guru di pedalaman Papua yang menghabiskan waktu berjam-jam untuk berjalan kaki dari rumah ke tempat belajar. Perjuangan fisiknya tak diganjar imbalan material yang sepadan. Lalu disebutlah guru itu dengan predikat pendidik inspiratif.

Di pedalaman Rangkasbitung, Banten, pernah ada seorang penjaga sekolah dasar yang mengisi hari-hari kerja juga merangkap sebagai guru karena kelangkaan tenaga pengajar di SD yang lokasinya di lereng bukit terjal itu.

Penjaga sekolah itu kebetulan punya pengetahuan lumayan mengenai elektronika. Kepada siswanya yang jumlahnya tak lebih dari 20 peserta didik itu, guru relawan yang penjaga sekolah itu pun mengajarkan cara membuat radio. Para siswa pun berantusias mengikuti pelajaran prakarya atau keterampilan itu. Awak media pun menjuluki sang penjaga sekolah itu sebagai salah satu inspiratif.

Dalam tulisan ini, yang dimaksud dengan guru inspiratif bukanlah semata-mata karena faktor pengorbanan yang dibaktikan untuk dunia pendidikan seperti pengorbanan guru di Pedalaman Papua atau Rangkasbitung itu. Namun, guru inspiratif di sini dimaknai sebagai pendidik yang, oleh guru besar Universitas Gadjah Mada Mubyarto (mendiang), disebut sebagai mentor penggugah siswa untuk mencintai ilmu pengetahuan.

Bagi Mubyarto yang kondang sebagai pencetus Ilmu Ekonomi Pancasila yang pro-kerakyatan itu, guru atau dosen yang berhasil bukan mereka yang brilian memahami dan menerangkan pengetahuan yang dikuasinya di hadapan siswa atau mahasiswa. Tapi pendidik yang sanggup menularkan rasa cintanya terhadap ilmu kepada anak didik yang diampunya.

Sayangnya, Mubyarto tak menjelaskan lebih jauh bagaimana cara melahirkan pendidik yang inspiratif, yang mampu membuat anak didik mencintai ilmu itu. Meski demikian, tak terlampau sulit untuk memperkirakan bagaimana pendidik seperti itu dimungkinkan lahir dalam sistem pendidikan di Tanah Air.

Pendongeng yang piawai adalah representasi dari guru inspiratif. Untuk itu, guru yang inspiratif mestilah memiliki karakteristik sebagai seorang pencerita yang sanggup menyihir siswa untuk mengikuti wejangannya di kelas. Pernah baca buku menarik karya Will Durant bertajuk "The Story of Philisophy"? Buku itulah yang diakui oleh pembaca di berbagai belahan dunia yang sanggup mendedahkan jagat filsafat dengan gaya penceritaan yang sederhana, memikat dan pada akhirnya membuat pembaca mencintai bacaan filsafat.

Guru inspiratif agaknya bisa juga ditemukan bayang-bayang jati dirinya pada sosok Sokrates, filsuf Yunani Kuno, yang antara lain dijuluki manusia terbijak itu. Tentu guru-guru di era sekarang ini tak perlu meneladani seluruh jejak langkah Sokrates dalam mengajak siswa mencintai ilmu.

Satu hal yang layak ditiru dari Sokrates itu adalah berdialog dengan lawan bicaranya dengan lebih banyak bertanya, bukan menjawab atau memberi wejangan. Metode ini memang pertama-tama bukan untuk mengajak siswa menjadi cinta terhadap ilmu pengetahuan, tapi lebih pada ajakan untuk berpikir.

Dari kegemaran berpikir itulah pada akhirnya siswa pelahan-lahan akan mencintai ilmu pengetahuan. Cara-cara klasik untuk menjadikan siswa mencintai ilmu itu perlu juga dikombinasikan dengan teknik simulasi dengan menggunakan berbagai fasilitas belajar.

Di sekolah-sekolah dasar yang berfasilitas lengkap, siswa belajar ilmu pengetahuan alam dan matematika tidak hanya secara abstrak lewat uraian verbal guru di kelas, tapi dibantu dengan perangkat atau fasilitas belajar yang konkrit sehingga uraian verbal abstrak itu menjadi semakin jelas lewat bantuan perangkat belajar itu.

Guru yang inspiratif saja agaknya tak cukup untuk membawa siswa berhasil dalam mencintai ilmu. Ada satu kualifikasi penting lain yang perlu dimiliki oleh guru, yakni interaksi emosional yang intensif antara guru dan siswa di sekolah.

Mohammad Said, pendidik dari Perguruan Taman Siswa, meyakini bahwa jika guru sanggup juga memainkan peran sebagai orang tua bagi siswanya, sebagian dari berbagai persoalan pendidikan akan teratasi. Tragedi pembunuhan guru oleh siswanya sendiri di Sampang, Madura, belakangan ini, yang membuat dunia pendidikan berduka, jelas akan terhindari jika apa yang dituntut Pak Said, demikian sapaan tokoh Taman Siswa itu, dipraktikkan di sekolah.

Konteks dunia pendidikan di era kejayaan Taman Siswa tentu memungkinkan guru memainkan peran sebagai orang tua karena masalah pendidikan saat itu belum semasif saat ini. Namun, prinsip-prinsip utama ajaran Pak Said itu bisa diaplikasikan dengan melakukan pembagian tugas kepada guru. Misalnya dengan mewajibkan setiap guru untuk mengampu aspek emosi untuk sepuluh atau belasan siswa di sekolah.

Tugas pengampu aspek emosi di sini adalah memberikan perhatian ekstra pada siswa, teristimewa untuk aspek kejiwaannya. Dengan demikian, tugas yang dibebankan kepada guru bidang bimbingan dan konseling siswa itu dibagi rata kepada lebih banyak guru di sekolah.

Dengan metode menyediakan guru inspiratif dan berempati seperti itulah diharapkan dunia pendidikan di Tanah Air mengarah ke tujuan yang diidealkan oleh pemangku kepentingan dunia pendidikan.

Pewarta: Mulyo Sunyoto
Editor: Gilang Galiartha
Copyright © ANTARA 2018