"Saya kelas lima SD, kalau malam gelap banget takut," kata Arif sembari tangan kanannya menggenggam plastik berisikan minuman dingin.

Arif Yahya nama lengkapnya, murid kelas lima Sekolah Dasar (SD) Negeri di Dusun Bondan, Desa Ujung Alang, Kecamatan Kampung Laut, Cilacap, Jawa Tengah. Malu-malu ia mengaku jarang belajar hingga malam hari, bukan lantaran malas, tetapi di rumahnya hanya ada penerangan dari cahaya lampu minyak.

Lampu minyak terpaksa menjadi pilihan, bukan karena ketidakmampuan secara ekonomi ataupun kesederhanaan, namun disebabkan tidak adanya instalasi listrik di desa Arif yang cukup mumpuni untuk menyalakan sebuah lampu.

Hal yang sama terjadi di tempat Arif menimba ilmu, yang meski dari segi gedung tak memperlihatkan kereotan ataupun kondisi fisik tak memadai, bangunan sudah dari dinding bata dan beratap genteng serta alas keramik. Namun, lagi-lagi daerah yang nyaris terisolasi membuat semua fasilitas serba minim, bahkan untuk menyalakan sebuah lampu.

Ironisnya, hanya ada satu ruangan kelas di sekolah tersebut. Sehari-hari diisi oleh 17 orang siswa, untuk semua murid jenjang kelas 1 hingga kelas 6 SD. Bahkan kelas 1 untuk tahun ajaran 2018 hanya berisikan satu orang siswa saja.

Ketujuh belas anak itu sehari-hari berkumpul dalam satu ruang kelas, diampu oleh satu-satunya guru yang mengajar di sekolah tersebut, sembari mengenakan seragam celana merah dan kemeja putih bersematkan bordiran Bendera Merah Putih di dada kanan, mengusung kebanggaan sebagai siswa SD Negeri, di pesisir, di pelosok.

Arif dan kawan-kawannya tidak tinggal berdekatan di antara jarak rumah dan sekolah, siswa lainnya bahkan harus menunggu sampan yang lewat untuk menuju ke sekolah sejak pagi melewati rawa-rawa dan sungai yang lebar diantara Segara Anakan dekat Pulau Nusa Kambangan.

Butuh waktu hampir dua jam melalui jalur laut dari Dermaga Sleko, Cilacap menuju kawasan terpencil Kampung Laut. Ketika keadaan air sedang surut, harus berganti dari kapal bermotor menuju sampan yang lebih kecil untuk melewati rawa-rawa pohon bakau khas pesisir.

Semangat belajar siswa SDN Dusun Bondan tak pernah padam, meskipun lampu dan penerangan belum kunjung menyala terang ketika malam datang. Di dinding rumah warga masih melekat sebuh poster tuntunan membaca alfabet dan nama-nama binatang, mewakili terang benderangnya semangat para orang tua mendampingi anak-anak belajar ketika di rumah.

Inovasi pembakit hibrida tenaga bayu dan surya, Hyrbid Energy One Pole (HEOP) sumbangan dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) Pertamina Refinery Unit IV Cilacap yang menciptakan kawasan mandiri energi di Dusun Bondan, Desa Ujung Alas, Kampung Laut, Cilacap, Jawa Tengah. (ANTARA/Afut Syafril)

Listrik mengalir

Senyum Arif sedikit mengembang, ketika kondisi desanya sedikit berubah. Produk karya ilmuwan Thomas Alva Edison yang mampu menciptakan terang tersebut dapat berfungsi di desanya, yang mungkin saja bagi Arif dapat membantu mewujudkan impian besarnya di masa depan, meski hanya dengan menyalanya sebuah lampu pijar.

Bantuan dari PT Pertamina (Persero) dapat membantu Arif membaca buku di malam hari tanpa takut kehabisan lampu minyak lagi. Sejalan dengan program Pertamina dalam mengembangkan program energy baru terbarukan, Pertamina Refinery Unit IV Cilacap melalui program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) bidang pemberdayaan masyarakat memberikan bantuan berupa tenaga listrik dengan menggunakan teknologi Hybrid Energy One Pole (HEOP) untuk warga di Dusun Bondan Desa Ujung Alang Kecamatan Kampung Laut Cilacap.

Bantuan teknologi HEOP ini bermula pada akhir 2016 lalu, ketika Pertamina RU IV Cilacap menyelenggarakan lomba inovasi teknologi. Salah satu pemenangnya adalah Mahasiswa STT PLN Jakarta yang mengembangkan teknologi HEOP. Teknologi itu menggabungkan antara panel surya dengan kincir angin yang menghasilkan listrik.

Kemudian teknologi ini dicoba untuk diimplementasikan oleh Serikat Pekerja Patra Wijayakusuma (SP PWK) dengan Dusun Bondan terpilih menjadi lokasi proyek percontohan sebab listrik PLN belum masuk ke daerah itu dan energi angin serta surya yang cukup, memungkinkan inovasi teknologi itu menjawab kebutuhan listrik di daerah setempat.

Warga antusias dengan adanya inovasi teknologi ini. Satu instalasi HEOP dipasang dan berhasil menerangi tiga rumah, masjid serta ruang pertemuan. Program ini kemudian dilanjutkan dengan dana dari CSR sebesar Rp281 juta lebih untuk pengembangan HEOP di Dusun Bondan.

Instalasi HEOP (ANTARA/Afut Syafril)

Ada 15 titik instalasi Heop yang sudah didirikan yang masing masing dapat melayani penerangan untuk 3 sampai 5 rumah, total ada 54 rumah yang sudah menikmati listrik. Selain itu, bagi rumah yang lokasinya cukup jauh dan tidak terjangkau teknologi HEOP maka digunakan panel surya di atap rumahnya. Ada 14 rumah di dusun setempat yang dibantu panel surya untuk menghasilkan listrik.

Dusun Bondan dijadikan sebagai kampung kincir, sebuah kawasan mandiri energi yang merupakan energi baru terbarukan (EBT). Sebab, kincir angin yang dipadu dengan sel surya dalam teknologi HEOP tersebut merupakan inovasi ramah lingkungan.

"Jadi, Pertamina tidak hanya membantu warga meninggalkan gelap menuju terang, melainkan juga mengampanyekan energi ramah lingkungan tanpa polutan," kata Unit Manager Communications dan CSR Pertamina RU IV Cilacap, Binu Bowo lspramito.

Berdasarkan lokasinya Dusun Bondan memang termasuk pelosok. Untuk menjangkau dusun ini harus menggunakan perahu compreng atau kapal kecil dengan jarak tempuh sekitar 2,5-3 jam dari Dermaga Sleko, Cilacap. Dusun Bondan dihuni oleh 72 kepala keluarga (KK) yang hampir seluruhnya belum menikmati layanan PLN.

Saat malam datang, dusun gelap. Kalau pun ada penerangan, hanya terbatas. Sebagai upaya menerangi rumah mereka, sejumlah warga menarik kabel dari desa lain untuk mengalirkan listrik PLN dengan jarak hingga 5 kilometer. Tetapi nyala lampu menjadi byar pet karena terlalu jauh Jaraknya. Sebagian warga lainnya masih menggunakan pelita minyak tanah untuk penerangan di kala malam.

Pilihan model hibrida pembangkit angin dan panel surya adalah mengingat kondisi alam Desa Ujung Alang. Jika pada siang hari, panas sangat terik, namun angin tidak kencang, sehingga panel surya mampu bekerja maksimal.

Begipun sebaliknya pada malam hari, angin kencang namun tidak ada terik matahari, jadi kincir angin akan mengambil alih peran pembangkit energi.

Kapasitas yang dihasilkan dari gabungan inovasi tersebut adalah 850 WB, atau setara menyalakan sebanyak lima lampu yang memiliki daya masing-masing lima watt dalam satu waktu.

Kini masyarakat Desa Ujung Alang bersiap mengembangkan perekonomian mereka menjadi lebih baik, dimulai munculnya secercah cahaya dari kincir angin.

Wakil Bupati Cilacap Syamsul Aulia Rahman bahkan menyerukan untuk mengembangkan keunggulan perekonomian daerah tersebut. "Di sini unggul di penghasil tambak bandeng, maka kalau sudah ada listrik diharapkan produksi meningkat lagi atau bahkan mampu menciptakan produk lain, batik khas Cilacap misalnya, karena sudah bisa membuat batik di malam hari," kata Syamsul. 

Pewarta: Afut Syafril Nursyirwan
Editor: Gilang Galiartha
Copyright © ANTARA 2018