Oleh Maria D. Andriana Jakarta (ANTARA News) - Prita Kemal Gani lahir di Jakarta pada 23 November 1961 dari pasangan orang tua Sudaryono, berasal dari Solo (Jawa Tengah), dan Ny. Tity dari Padang (Sumatera Barat). Masa pertumbuhan dilaluinya dengan asuhan ibunda. Ayahnya meninggal ketika Prita masih berusia lima tahun. Menurut dia, ibundanya itu bukan sekedar terampil sebagai ibu rumahtangga belaka, melainkan juga piawai mengurus bisnis sebuah hotel di Bengkulu. Ia dibesarkan bersama tiga saudara laki-lakinya, sedangkan adik perempuannya meninggal ketika masih kanak-kanak. Prita mengaku mengenal pekerjaan domestik, seperti memasak, menata rumah sedari kecil dari ibunya sendiri. "Tugas-tugas domestik yang diajarkan itu amat membekas sehingga saya pun sampai sekarang menjadi senang melakukannya," tutur Prita, dalam percakapan di satu kedai kopi pada hotel berbintang di jantung Jakarta. Tahun 1992 merupakan tahun yang penting bagi Prita, karena itu merupakan tahun pernikahannya, dan juga saat ia memantapkan tekad untuk membuka usaha sendiri, yaitu kursus pendidikan di bidang "Public Relations" (PR) atau Hubungan Masyarakat (Humas). Nama Prita menggebrak dunia pendidikan tinggi di Jakarta ketika pada 1999 lembaga kursus yang didirikannya sejak 1992 itu resmi ditingkatkan menjadi sekolah tinggi. Dalam 15 tahun perjalanannya membuka kursus PR yang diawali dengan hanya menyewa ruang kantor berukuran 12 meter persegi di gedung World Trade Center (WTC) di bilangan Jalan Sudirman, Jakarta, dan menyewa ruang kelas yang disesuaikan dengan jumlah siswa. Prita kini sudah mengembangkan bisnisnya mengelola sekolah tinggi ilmu komunikasi yang cukup punya nama. "Baru tahun ini saya mampu menempati gedung sendiri," tutur Prita, yang mengesankan bahwa seharusnya The London School of Public Relations-Jakarta (LSPR) itu selayaknya sudah lama menempati gedung milik sendiri. Seperti seorang ibu rumahtangga mengelola anggaran domestik, Prita mengaku tidak terburu-buru membeli gedung dan fasilitasnya untuk mengembangkan lembaga pendidikannya. Ia lebih mengutamakan pemanfaatan angaran untuk mengembangkan program pendidikan. Kampus LSPR sampai dengan beberapa bulan lalu terpencar-pencar pada beberapa ruang yang di sewanya seperti di Gedung Dharmala, kawasan Jalan Jenderal Sudirman, di Gedung Dewan Pers dan Gedung Bimantara di Jalan Kebon Sirih. Tetapi, kini Prita sudah bisa lega karena LSPR sudah mempunyai gedung sendiri untuk program S1 di Sudirman Park dan S2 di Wisma Dharmala. Di tengah kesibukannya sebagai pendiri dan pemimpin LSPR, Prita juga menikmati peran sebagai istri dari Kemal Effendi Gani, Pemimpin Redaksi Majalah Swa, dan juga menjadi ibu bagi tiga putra-putrinya, Ghina Amani Kemal Gani, Raysha Dinar Kemal Gani, dan Fausan Kanz kemal Gani. Lagi-lagi Prita meneladani ibunya dalam membagi waktu untuk mengurus keluarga dan bisnis. Ia sengaja memilih tempat tinggal kedua di sebuah apartemen yang berada satu lokasi dengan kampus LSPR di Sudirman Park, selain rumah tinggal utama di Pamulang. "Anak-anak sering saya ajak turun dan melihat bagaimana saya bekerja, dan mereka juga mesti memahami mengapa saya bekerja," kata Prita yang juga gemar berenang itu. Mengenai konsep berkeluarga, perempuan berambut sepunggung itu mengatakan pentingnya perekat berupa impian bersama antara suami dan istri. Berbicara tentang kilas balik perjalanan hidupnya, Prita berkisah mengenai latar belakang pendidikannya, cita-citanya dan komitmennya dalam membangun hubungan keluarga. Seiring dengan bisnis keluarga dan atas anjuran Ny. Tity Sudaryono, ibunya, Prita mengambil pendidikan tinggi program diploma bidang manajemen hotel di Universitas Trisakti. Namun setelah lulus dan bekerja, ia berminat untuk belajar lagi di bidang PR, studi manajemen (management studies) di London (Inggris) dan Manila (Filipina). Ketika kembali ke tanah air, Prita bekerja sebagai PR, dan pada saat itulah ia berkenalan dengan Kemal, yang menjadi redaktur di majalah Swa. "Dunia kewartawanan itu dekat dengan PR, sehingga kami segera menemukan banyak persamaan dan menjadi cocok lalu memutuskan untuk menikah," kata Prita, yang ayahnya juga menggeluti bidang jurnalistik. Ayahnya, Sudaryono adalah penerbit dan wartawan Suluh Indonesia, namun tidak sempat menularkan minat jurnalistik pada Prita karena Sudaryono tutup usia dalam usia yang belia, 37 tahun. "Kenangan saya pada ayah sebatas pada keinginan beliau, agar saya bisa menari Jawa halus kayak `wong Solo`," kata Prita yang bisa menari Bondan. Kemal sebagai calon suami pada awal 1990-an itu lah yang mendorong Prita mewujudkan impiannya untuk membuka bisnis di bidang pendidikan. "Tujuan utamanya adalah agar saya bisa berkarir dan tidak sekedar sebagai `konco wingking`, tetapi bisa mandiri." Ucapannya menunjukkan pola pikir perempuan modern yang menjunjung nilai keluarga tetapi juga menghargai martabat diri sebagai suatu pribadi yang perlu mengembangkan diri, membagikan pengetahuan dan kemampuan dan mencari nafkah. Prita yang mengaku pandai mengolah dendeng balado cabe ijo itu berterus terang bahwa perjalanan rumah tangga maupun karir yang dijalaninya tidak selalu mulus, ada beberapa masalah yang mewarnainya, tetapi keutungan keluarga direkat oleh cintakasih, komitmen dan impian bersama. "Dengan bisnis keluarga ini kami bisa mandiri, membiaya pendidikan dan mengasuh anak dalam maqsa tumbuh kembang dan kelak jika sudah tua, mudah-mudahan tetap bisa mandiri serta tetap punya penghasilan untuk jalan-jalan dan jajan cucu," kata Prita dengan senyum atas impiannya. Ibu yang berperan penting dalam hidup Prita juga terus diikuti nasihatnya, misalnya adalah nasihat untuk jujur kepada suami, termasuk dalam masalah keuangan. "Selingkuh keuangan itu sama beratnya dengan berzinah," kata Prita. Perhatian Prita bukan semata-mata untuk menjaga relasi yang baik dedngan suami, tetapi mereka berdua juga merasa takut jika tidak diinginkan oleh anak-anak. "Jika mereka protes karena saya sangat sibuk dan tidak mempunyai banyak waktu untuk mereka, itu saya anggap sebagai bentuk pujian bahwa mereka memerlukan saya. Untuk itu saya akan membagi waktu dan menanamkan pengertian pada anak-anak mengapa kami sibuk bekerja,"katanya. Prita juga menerapkan pola hubungan keluarga besar, dalam arti selain tinggal bersama suami dan anak-anak, ia jua mengajak ibu dan ayah mertua untuk tinggal bersama sebelum ayah mertuanya meninggal beberapa waktu lalu. "Mertua saya punya rumah sendiri, ibu saya juga punya rumah sendiri, tetapi kami memilih untuk tinggal bersama," katanya. Hubungan menantu dan mertua secara umum sering tidak harmonis. Prita mengakui pada awalnya ia juga kurang harmonis dengan ayah mertuanya, namun dengan sabar ia menunjukkan kemampuan untuk menjalin hubungan kekeluargaan dan berkomunikasi. "Pada akhirnya, ketika beliau meninggal, saya lebih merasa kehilangan ketimbang anak kandungnya," kata Prita. Matanya tampak menerawang mengenang ayah mertuanya. Ny. Tity, kini berusia 72 tahun, masih tetap menjadi perempuan yang sibuk, sebagai ibu, nenek dan masih juga bekerja menyiapkan makanan untuk dosen dan staf The London School. "Beliau mau mempunyai kegiatan, agar tidak pikun," kata Prita tentang ibunya itu. Pola kekerabatan dalam rumahtangga juga diterapkannya untuk memimpin bisnis, karena Prita menganggap seluruh staf dan mahasiswa di LSPR sebagai bagian dari keluarga besarnya. "Saya tidak perlu mengucapkannya, tetapi bisa dilihat dan dirasakan suasana kekeluargaan itu," kata perempuan yang aktif menjadi pengurus dan anggota berbagai organisasi nasional dan internasional di bidang PR dan komunikasi itu. Ilmu komunikasi semakin diperlukan di berbagai bidang, juga di dalam keluarga, kata Prita. Ia juga telah menjadi ibu yang meluluskan 6000 alumni LSPR yang kini banyak tersebar di berbagai perusahaan sebagai tenaga kerja yang handal. Wajar jika Prita terlihat bangga menyematkan bros permata berupa inisial LSPR yang kerap terlihat di dadanya. (*)

Oleh
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007