Jakarta (Antara News) -- Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 14/POJK.05/2015 tentang Retensi Sendiri dan Dukungan Reasuransi Dalam Negeri resmi ditetapkan pemerintah pada 1 Januari 2016. Genap dua tahun, kebijakan ini berhasil memangkas defisit transaksi reasuransi ke luar negeri sebesar lebih dari dari Rp.12 triliun pada akhir 2015 menjadi Rp.8,8 triliun Pada akhir 2017.

Kebijakan ini hadir untuk menekan larinya premi reasuransi ke luar negeri dan untuk mendukung reasuransi dalam negeri. Sebelum ditetapkannya kebijakan ini, defisit reasuransi pada 2013 mencapai lebih dari Rp.13 triliun.

Ditemui di acara Indonesia Life Insurance CFO Forum 2018 di Jakarta, Selasa (13/2), Direktur Pengawasan Asuransi OJK Ahmad Nasrullah mengatakan, kebijakan ini hadir tidak hanya bertujuan untuk menekan defisit reasuransi, tapi juga untuk mendorong peningkatan kapasitas perusahaan-perusahaan reasuransi nasional.

"Kebijakan ini bukannya serta merta untuk melarang asuransi nasional untuk menanamkan preminya di luar negeri, tapi untuk mendorong agar reasuransi lokal mampu untuk mengelola risiko yang lebih besar sehingga dapat bersaing dengan reasuransi asing," paparnya.

Pasca ditetapkannya kebijakan retensi sendiri, pertumbuhan defisit reasuransi pada 2016 dari 2015 naik drastis hingga 25,6 persen atau defisit turun dari angka Rp.12 triliun ke Rp. 902 miliar.  Meskipun demikian, pertumbuhan ini mengalami perlambatan memasuki tahun 2017, yakni hanya sebesar 2,3 persen - dari Rp. 902 miliar menjadi Rp. 881 miliar.

"Hal ini memang sudah kami antisipasi, tapi (perlambatan pertumbuhan) tidak terlalu berdampak pada industri secara keseluruhan," lanjut Nasrulloh.

Ditemui di kesempatan yang sama direktur utama Indonesia Re Frans Y. Sahusilawane mengatakan, seiring dengan premi reasuransi ke luar negeri berkurang, premi reasuransi yang diperoleh pun meningkat.

"Jelas berdampak signifikan pada pendapatan premi kami. Pada 2016, gross premi kami Rp.4,7 triliun, pada 2017 naik 14 persen menjadi Rp.5,3 triliun dimana pertumbuhan rerata industri reasuransi hanya 11 persen," ungkap Frans.

Frans melanjutkan, pihaknya kini berfokus untuk wujudkan visi Giant Re pada 2020. Salah satu upayanya adalah dengan menetapkan risk-based capital (RBC) hingga 250 persen - jauh lebih tinggi dari ambang batas yang ditetapkan Otoritas Jasa Keuangan sebesar 120 persen.

"Meskipun menurut regulator (RBC) cukup 120 persen, tapi tidak dengan pasar. Sebagai reasuransi, kami harus selalu siap menangani risiko yang lebih besar dari sebelumnya," ujar Frans.

Selain RBC, Indonesia Re memiliki total ekuitas sebesar Rp. 2,7 triliun sehingga menempatkannya sebagai reasuransi dengan ekuitas terbesar kedua di Asean setelah ACR, reasuransi asal Singapura, yang memiliki ekuitas mencapai Rp. 7 triliun.

Pewarta: Primasatya
Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2018