Padang (ANTARA News) - Pejabat Kantor Staf Presiden (KSP) mengungkapkan alasan pemerintah masih mengimpor beras dan jagung kendati Indonesia adalah negara agraris karena masa panen kedua komoditas tersebut tidak terjadi sepanjang waktu.

"Beras itu tidak dipanen setiap saat, padahal kita makan tiga kali sehari, tidak bisa saat ada beras makan, lalu saat tidak panen tidak makan," kata Deputi II Kepala Staf Kepresidenan Yanuar Nugroho di Padang, Selasa.

Ia menyampaikan hal itu pada diskusi nasional Road Show Capaian Tiga Tahun Jokowi-JK digelar oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas (Unand) Padang berkerja sama dengan KSP.

Menurut dia ketika beras sedang ada itu tidak ada masalah, namun saat tidak ada maka yang dilakukan adalah mengimpor.

"Akan tetapi beras yang diproduksi dengan yang diimpor itu positif, artinya kita punya ketahanan pangan karena jumlah yang diproduksi dengan yang diimpor selisihnya positif," tambahnya.

Oleh sebab itu ia mengajak semua pihak melihat persoalan ini secara logis karena mungkin ada yang mengatakan sebentar lagi panen mengapa harus impor.

Ia menilai jika terjadi kelangkaan beras, harga akan naik dan beras yang harganya tinggi akan rawan dipolitisasi, itu alasan mengapa dilakukan impor.

"Jadi sekali lagi yang namanya ketahanan pangan bukan berarti tidak mengimpor sama sekali, kita belum berada pada posisi itu tapi saat ini pemerintah memastikan saat stok tidak ada masih punya power untuk mengimpor," lanjut dia.

Kemudian untuk komoditas jagung yang mengomsumsi bukan hanya manusia tapi juga dijadikan pakan ternak.

"Pakan ternak khususnya unggas sangat tergantung pada jagung untuk itu pemerintah ingin memastikan tidak ada fluktuasi harga yang berlebihan," tambahnya.

Pada sisi lain ia juga memaparkan sebenarnya impor gandum Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan dibandingkan beras bahkan jadi negara pengimpor terbesar di dunia.

Namun sentimen impor gandum tidak terlalu kuat karena persoalan ini terkait dengan pola konsumsi masyarakat, katanya.

Ia menyampaikan Indonesia adalah pembuang makanan nomor dua terbesar di dunia setelah Arab Saudi berdasarkan data statistik.

"Jadi makanan itu diambil sepiring tidak habis, jumlah makanan yang dibuang nomor dua tertinggi di dunia," ujar dia.

Pada sisi lain ada makanan alternatif seperti sagu, ketela, singkong dan sagu namun pola konsumsi dibandingkan beras tidak seimbang, tambah dia.

Pewarta: Ikhwan Wahyudi
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018