Peristiwa-peristiwa memprihatinkan akibat ulah satu atau segelintir orang yang mencederai pasal-pasal tentang kebebasan beragama masih terjadi di Tanah Air secara sporadis.

Itulah salah satu hal yang membuat Presiden Joko Widodo perlu mengingatkan kembali semua pihak bahwa tidak ada seorang pun boleh melanggar kebebasan beragama yang dijamin oleh konstitusi.

Di kalangan kaum terpelajar, sebetulnya isu kebebasan beragama, atau lebih spesifik lagi kemerdekaan beriman, termasuk meyakini tentang kebenaran agnostisisme, ateisme, nonteisme dan semua bentuk isme yang lain, boleh dibilang sudah bukan perkara yang mengakibatkan percekcokan lagi.

Tentu saja tak sembarang kalangan terpelajar. Yang jelas, hanya di kalangan terpelajar yang memahami atau menghayati hakikat keberimanan yang sanggup menghayati hak kemerdekaan beragama.

Orang yang sanggup menghargai hak personal dalam keberimanan bukan saja sanggup merespek pilihan iman orang lain, dalam perngertian semua orang selain diri sendiri, termasuk istri dan anak-anak yang sudah dewasa, tapi juga sanggup menerima kehadiran orang yang punya keyakinan bahwa yang paling rasional adalah agnostitisme, paham yang menyatakan bahwa manusia tak sanggup mengetahui kebenaran metafisika.

Perbincangan tentang kebebasan beragama tentu punya sejarah yang sangat panjang, yang diwarnai pertumpahan darah yang mengerikan. Kesadaran bahwa yang paling pas untuk hidup penuh damai dan sejahtera adalah kesepakatan untuk bebas memilih keyakinan juga dimatangkan oleh sejarah yang berdarah-darah itu.

Permusuhan yang bermuatan unsur keimanan yang paling fenomenal dalam sejarah umat manusia adalah konflik antara Katolik dan Protestan, yang berlangsung di Eropa selama hampir 30 tahun. Tentu di situ juga masuk unsur politik, perebutan kekuasaan yang saling bertaut antara penguasa politik dan penguasa gereja, yang melahirkan kebengisan dan keserakahan.

Konflik yang bermuatan akidah juga terjadi di agama-agama lain, yang berlangsung secara intra maupun antaragama. Bahkan sampai sekarang, konflik di kalangan jamaah Sunni dan Syiah (ditambah lagi dengan Ahmadiyah) masih berpotensi berlangsung.

Menyangkut kemerdekaan beribadah, adanya segelintir orang yang nekat melakukan penyerangan terhadap prosesi umat yang sedang menunaikan ibadah sesungguhnya lebih ke soal hukum yang menjadi urusan aparat keamanan. Para perusak rumah ibadah juga mereka yang menyerang umat yang sedang beribadah adalah urusan aparat. Kaum intoleran itu cukup dihukum karena perbuatan kriminalnya berupa perusakan fasilitas atau hak milik orang atau komunitas lain, juga perbuatan melukai orang lain.

Sayang sekali penegak hukum belum secara terbuka memproses pelanggaran sedemikian ini secara terbuka. Boleh jadi pengadilan tertutup ini dilakukan karena masih ada kekhawatiran bahwa persidangan terhadap kasus-kasus yang bermuatan keagamaan ini dapat memicu kerusuhan primordial.

Agaknya media massa juga perlu membuat gebyar dalam meliput persidangan tentang pelanggaran dalam perkara intoleransi, seperti liputan kasus besar lain semisal liputan megaskandal korupsi kartu tanda penduduk elektronik yang meringkus Setya Novanto.

Publik perlu belajar dari proses hukum yang dibuka secara umum itu untuk menyosialisasikan pemelajaran tentang perlunya hukuman yang menjerakan kaum kriminal yang merusak rumah ibadah dan melukai kaum agamawan.

Munculnya orang-orang intoleran, yang jumlahnya sangat kecil jika diletakkan dalam konteks jumlah penduduk di Tanah Air, selalu menggugah para pemikir sosial untuk bertanya-tanya. Jawaban bisa muncul dari bermacam perspektif. Namun, satu hal yang pasti yang tak dimiliki oleh mereka yang intoleran adalah konsep tentang iman yang rendah hati.

Para ahli masalah keimanan dari berbagai ranah kepercayaan sepakat bahwa dalam beriman, seseorang bebas meyakini kebenaran apa yang diyakininya, namun biarkanlah Tuhan yang menilai keyakinan yang dipeluk orang lain.

Justru di titik inilah letak kekurangan orang-orang intoleran. Mereka yang jumlahnya sangat kecil ini, jika ditaruh dalam konteks total penduduk Indonesia yang mencapai lebih dari 258 juta jiwa, cenderung menilai bahwa apa yang diimani orang lain salah dan harus diluruskan, kalau bukan dienyahkan.

Intepretasi kaum intoleran terhadap kitab suci boleh jadi menjadi salah satu faktor yang mendorong mereka untuk melakukan tindakan mereka dalam menghadapi kelompok orang yang berseberangan dalam iman. Namun, ketika intepretasi itu sudah diekspresikan dalam bentuk aksi merusak atau melukai, kasusnya sudah bukan perkara iman lagi, tapi perbuatan pidana yang harus diselesaikan secara pidana pula.

Dari sisi pembangunan watak agar warga memiliki jiwa-jiwa yang toleran, pluralis agaknya sudah banyak dilakukan oleh berbagai kalangan atau komunitas. Organisasi di lingkungan pegiat dialog antarpengikut agama, tokoh-tokoh agama dari semua agama yang ada sudah cukup intensif. Mereka yang berbuat dalam usaha menciptakan kehidupan beragama yang guyub dan tenang ini terdapat di hampir ranah kehidupan, yang formal maupun nonformal.

Para perusak rumah ibadah dan mereka yang nekat melukai orang lain karena alasan beda keimanan agaknya perlu meneladani tokoh-tokoh spiritual anutan di masing-masing agama. Tokoh-tokoh religius yang berpandangan luas karena kedalaman ilmu pengetahuan agama selalu mengajarkan bahwa religiusitas juga menyangkut kesanggupan mengekang hawa nafsu untuk merusak benda-benda berharga, dan melukai makhluk hidup. Pepatah Arab berbunyi kurang lebih begini: "Berkomunikasi dengan manusia, cukup dengan kata-kata. Hanya terhadap hewan kadang perlu dipukul".

Dari pepatah Arab itulah, kaum intoleran bisa berangkat untuk mulai merenung. Kandungan makna pepatah itu cukup dalam sehingga bisa dijadikan sebagai satu dari sekian banyak pegangan dalam menghayati relasi antarumat dalam kebebasan beragama.


Pewarta: Mulyo Sunyoto
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2018