Kami melihat konsekuensi akhir dari sebuah masyarakat yang didorong untuk membenci, menciptakan kambing hitam dan ketakutan pada minoritas terjadi dalam gerakan militer mengerikan berupa pembersihan etnis terhadap orang-orang Rohingya di Myanmar."
London (ANTARA News) - Krisis di Myanmar dan laporan pembantaian warga Muslim Rohingya adalah konsekuensi dari sebuah masyarakat yang didorong untuk membenci dan kurangnya kepemimpinan global mengenai hak asasi manusia, kata Amnesty International, Kamis.

Kelompok hak asasi manusia itu mengatakan dalam laporan tahunannya yang mencakup 159 negara bahwa "retorika yang penuh dengan kebencian" dari para pemimpin membuat diskriminasi terhadap kaum minoritas menjadi hal yang normal, lapor Reuters.

"Kami melihat konsekuensi akhir dari sebuah masyarakat yang didorong untuk membenci, menciptakan kambing hitam dan ketakutan pada minoritas terjadi dalam gerakan militer mengerikan berupa pembersihan etnis terhadap orang-orang Rohingya di Myanmar," kata Salil Shetty, Sekretaris Jenderal Amnesti.

Pekan lalu, Amerika Serikat mendesak Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa untuk meminta pertanggungjawaban militer Myanmar atas apa yang dikatakannya sebagai pembersihan etnis Muslim Rohingya.

Hampir 690.000 Rohingya telah lari mengungsikan diri dari Rakhine dan berlindung di negara tetangga Bangladesh sejak militer Myanmar melancarkan tindakan keras terhadap gerilyawan pada akhir Agustus, menurut Perserikatan Bangsa Bangsa.

Lebih dari 6.500 warga Rohingya saat ini terjebak di wilayah tanpa tuan antara Myanmar dan Bangladesh.

Amnesty mengatakan bahwa masyarakat internasional telah gagal untuk memberi reaksi kuat "kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang dari Myanmar ke Irak, Sudan Selatan, Suriah dan Yaman".

Para pemimpin di negara-negara seperti Amerika Serikat, Rusia dan China dikatakan tidak membela kebebasan sipil dan sebaliknya dengan sengaja merongrong hak jutaan orang.

Amnesty mengatakan Presiden Donald Trump telah mengambil langkah mundur mengenai hak asasi manusia yang merupakan preseden berbahaya. Shetty menggambarkan keputusan Trump untuk melarang orang-orang dari beberapa negara berpenduduk mayoritas Muslim pada Januari tahun lalu sebagai bentuk "kebencian yang transparan."

Laporan tahun lalu menuduh Trump melakukan retorika "beracun". Kebebasan berbicara akan menjadi isu utama bagi mereka yang peduli dengan hak asasi manusia tahun ini, kata laporan tersebut.

Amnesty mengatakan stafnya ditangkap dalam jumlah yang belum pernah terjadi sebelumnya di Turki pada 2017. Amnesty mengatakan Turki, bersama dengan Mesir dan China, berada di antara negara-negara yang memenjarakan wartawan dalam jumlah paling besar.

Dua wartawan Reuters di Myanmar ditangkap saat menyelidiki pembunuhan Muslim Rohingya. Proses pengadilan sedang berlangsung.

"Pada 2018, kita tidak dapat menerima begitu saja bahwa kita bebas untuk berkumpul bersama dalam demonstrasi atau mengkritik pemerintah kita. Karena sesungguhnya, berbicara menjadi semakin berbahaya," kata Shetty.

Sebelumnya, Myanmar mengatakan akan mengambil tindakan terhadap 10 anggota pasukan keamanan Myanmar, yang terlibat dalam pembunuhan sejumlah warga Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine.

Pernyataan itu merujuk pada pembunuhan terhadap 10 pria Rohingya di desa Inn Din, Rakhine utara, yang jasadnya ditanam di kuburan massal, yang dilaporkan oleh Reuters.

Juru bicara pemerintah Myanmar, Zaw Htay, mengatakan bahwa "tindakan berdasarkan atas hukum" akan diambil terhadap tujuh tentara dan tiga polisi serta enam penduduk desa sebagai bagian dari penyelidikan, yang dimulai sebelum laporan Reuters muncul.

(Uu.G003/T008)

Pewarta: SYSTEM
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018