Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai belum ada informasi siginifikan yang disampaikan terdakwa Setya Novanto selama proses persidangan perkara korupsi proyek KTP-elektronik (KTP-e) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.

"Tadi saya juga sudah bertemu dengan tim, sejauh ini belum ada informasi yang kami pandang signifikan yang disampaikan oleh Setya Novanto," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Jumat.

Lebih lanjut, ia menegaskan jika Novanto serius mengajukan diri menjadi "justice collaborator" (JC) tentu seharusnya ada informasi signifikan yang diberikan oleh mantan Ketua DPR RI itu pada tim yang melakukan pemeriksan.

"Saya kira kalau sudah selesai semua saksi-saksi diperiksa, tentu kami masuk agenda berikutnya seperti pemeriksaan terdakwa dan sampai pada tuntutan," ucap Febri.

Menurut Febri, dikabulkan atau tidak Novanto sebagai JC, tergantung pada hasil pembicaraan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan tim KPK lainnya yang akan disampaikan pada tahap tuntutan.

"Kalau Setya Novanto serius menjadi JC, masih ada waktu untuk membuka informasi pelaku lain yang lebih besar yang dia ketahui, tentu dengan keterangan yang sebenar-benarnya dan sejujur-jujurnya," ungkap Novanto.

Dalam perkara korupsi KTP-e, Novanto diduga menerima 7,3 juta dolar AS dan jam tangan Richard Mille senilai 135 ribu dolar AS dari proyek KTP-e. Setya Novanto menerima uang tersebut melalui mantan direktur PT Murakabi sekaligus keponakannya Irvanto Hendra Pambudi Cahyo maupun rekan Setnov dan juga pemilik OEM Investmen Pte.LTd dan Delta Energy Pte.Lte yang berada di Singapura Made Oka Masagung.

Sedangkan jam tangan diterima Setnov dari pengusaha Andi Agustinus dan direktur PT Biomorf Lone Indonesia Johannes Marliem sebagai bagian dari kompensasi karena Setnov telah membantu memperlancar proses penganggaran. Total kerugian negara akibat proyek tersebut mencapai Rp2,3 triliun.

Novanto didakwakan pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018