Surabaya (ANTARA News) - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)-Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya membuka posko pengaduan penggusuran rumah warga di Kota Pahalwan.

Kordinator Posko Pengaduan Penggusuran Rumah Warga Abdul Wachid Habibullah, di Surabaya, Jumat, mengatakan posko pengaduan ini bertempat di kantor LBH Surabaya Jalan Kidal 6 Surabaya dan buka pada jam kerja dari Senin-Jumat mulai pukul 09.00-14.00 WIB.

"Fenomena penggusuran tempat tinggal warga Kota Surabaya dalam beberapa waktu terakhir sangat massif. Apalagi penggusuran itu dilakukan oleh Pemerintah Kota Surabaya serta pihak-pihak lain atas nama penertiban asset," katanya.

Pembukaan posko ini atas inisiatif dari YLBHI-LBH Surabaya, FMN, Rakapare, LKBHMI Cabang Surabaya, Arkom Jatim dan Paguyuban Warga Korban Penggusuran Kota Surabaya.

Menurut catatan YLBHI-LBH Surabaya, warga kota Surabaya yang berpotensi menjadi korban penggusuran terjadi di beberapa wilayah di Surabaya seperti di Medokan Semampir, Keputih Tegal Timur Baru, Stren Kali Kandangan wilayah Asemrowo, Tambak Oso, Wonokusumo serta Bulak Banteng Banderejo.

"Tidak kurang dari 157 Kepala Keluarga yang menjadi korban, belum yang terjadi di wilayah Wonokusumo. PT. KAI mengklaim lahan pemukiman warga seluas 22 hektare dihuni oleh 24 ribuan warga juga terancam digusur," ujarnya.

Ia menilai perampasan ruang hidup tempat tinggal warga melalui penggusuran secara sepihak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok Agraria.

"Dalam aturan itu memiliki nafas bahwa pembagian tanah yang adil dan memperluas hak milik atas tanah masyarakat," katanya.

Ia menyebut data Badan Pertanahan Nasional (BPN) sejak akhir 2016, baru 44 persen tanah di Indonesia yang bersertifikat yang justru melegitimasi adanya penggusuran kepada masyarakat karena tidak mempunyai sertifikat. Sedangkan warga yang telah menghuni di pemukiman tersebut sudah menempati rata-rata 20-30 tahun.

Berdasarkan hal tersebut, lanjut dia, penguasaan secara fisik oleh masyarakat atas lahan seharusnya dapat diterbitkan sertifikat hak milik atas lahan. Hal itu berdasarkan Pasal 24 PP No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

"Seharusnya BPN harus menerbitkan sertifikat atas penguasaan fisik tersebut kepada warga," ujarnya.

Menurut Resolusi Nomor 2004/28 Komisi HAM PBB diketahui penggusuran paksa merupakan bentuk pelanggaran HAM berat terutama hak atas tempat tinggal dan penghidupan yang layak. Bahkan UUD NRI Tahun 1945 mewajibkan pemerintah melindungi hak asasi setiap warga negaranya.

Selain itu, lanjut dia, pemerintah juga belum mampu untuk memberikan solusi atas penggusuran serta memberikan ganti untung yang layak kepada korban. Sehingga, lanjut dia, kebijakan penggusuran akan semakin menambah kemiskinan serta penurunan derajat kesejahteraan hidup akibat kehilangan rumah dan pekerjaan.

"Ke depan akan semakin banyak penggusuran yang akan dilakukan di Kota Surabaya. Maka kami Aliansi Tolak Penggusuran Kota Surabaya membuka Posko Pengaduan Penggusuran di Kota Surabaya untuk menerima pengaduan dari warga korban penggusuran serta melakukan advokasi secara bersama-sama terhadap hal tersebut," katanya.

 

Pewarta: Abdul Hakim
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2018