Jakarta (ANTARA News) - Panen raya, waktu ketika gabah melimpah kerap kali justru menjadi masa yang amat meresahkan bagi petani di Tanah Air.

Wajar saja, dengan pasokan yang melimpah, harga gabah yang mereka panen bersamaan itu lebih sering jatuh hingga titik terendah.

Padahal ongkos produksi yang mereka keluarkan untuk operasional tidak berkurang sama sekali justru bertambah seiring waktu.

Petani kerap kali menyimpan keresahan itu dalam harapan-harapan yang begitu besar kepada pemerintah.

Meski di sisi lain pemerintah sendiri pun menyadari hal itu serta mencari berbagai cara dan formulasi yang tepat untun menyelamatkan petani agar tetap sejahtera.

Hal serupa pun dikhawatirkan terjadi pada musim panen raya tahun ini.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan saat ini di pasaran memang telah terjadi penurunan harga beras.

Penurunan tipis itu menurut Darmin, belum cukup untuk menguntungkan petani.

Pemerintah sendiri menurut Darmin ingin menyetabilkan dan menurunkan harga beras tanpa membuag harga gabah kering giling anjlok banyak.

Darmin mengharapkan harga beras medium bisa turun pada kisaran Rp9.400-Rp9.500/kilogram (kg) pada musim panen raya tahun ini.

Stabilisasi harga
Harapan stabilisasi harga termasuk ketika panen raya tiba sejatinya bukan semata ada petani.

Rantai pasar pangan khususnya beras menjadi hajat hidup orang banyak sehingga masyarakat sebagai konsumen pun punya alasan khusus agar harga beras stabil.

Murah di saat hanya panen raya menjadi tiada artinya ketika harga beras melonjak bahkan langka di musim-musim lain.

Oleh karena itulah, Menko Perekonomian Darmin Nasution sejatinya sudah menyadari upaya yang dilakukan untuk menekan harga beras yakni dengan memperbesar dan memperluas pasokan.

Lalu, menugaskan Perum Bulog menyerap beras petani dengan harga yang bagus.

Menurut dia, pembelian dilakukan oleh Bulog dengan fleksibilitas harga.

Hal itu di antara sudah dilaksanakan melalui kesepakatan antara tiga kementerian pada awal tahun ini yakni Kementerian Pertanian (Kementan), Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Kementerian BUMN yang sepakat untuk menugaskan Bulog untuk menyerap 2,2 juta ton produksi gabah dari petani dalam rentang waktu Januari hingga Juni tahun ini.

Hal tersebut dilakukan guna menjaga harga gabah di tingkat petani tidak anjlok.

Bahkan Menteri Pertanian Andy Amran Sulaiman pun telah secara khusus meminta Bulog untuk menyerap gabah dari tiga jenis yang telah disepakati yakni gabah dengan kualitas kadar air hingga 30 persen, gabah kualitas normal, dan juga gabah yang digunakan untuk produksi beras premium. Namun ketiganya akan dibeli dengan harga yang berbeda.

Selain menyerap produksi gabah, pemerintah juga menugaskan untuk menyerap produksi pertanian jagung dan bawang.

Menurut Amran, saat ini harga kedua komoditas pertanian itu juga sedang anjlok. Untuk itu ketiga-tiganya (gabah, bawang dan jagung) disepakati akan diserap oleh Bulog.

Langkah itu menjadi instrumen yang dianggap paling tepat untuk memproteksi petani dari fluktuasi harga yang tidak menguntungkan.

Model baru
Menanggapi fenomena keresahan petani ketika musim panen raya tiba, Lembaga kajian dan advokasi pertanian INAgri menyarankan perlunya penerapan model baru pembangunan pertanian dan pedesaan di Indonesia.

Direktur Eksekutif INAgri Syahroni menilai dalam lingkup isu yang lebih luas Indonesia sedang menghadapi ancaman tidak terwujudnya kedaulatan pangan.

Jadi kata dia, untuk mengantisipasinya perlu model baru pembangunan pertanian dan pedesaan, yakni mendorong pengelolaan sumber daya lokal sebagai sumber pangan juga membangun inovasi-inovasi.

Praktisi pertanian lulusan Universitas Sriwijaya Palembang itu mengatakan inovasi dalam bidang pertanian mendesak untuk dilakukan.

Menurut dia, peningkatan produksi pertanian berupa teknologi tepat guna menjadi solusi terbaik bagi upaya pemberdayaan pertanian di Tanah Air.

Pihaknya sendiri misalnya sudah melatih petani agar semakin terampil membuat nutrisi dan pupuk hayati yang ramah lingkungan dan produktif.

Ancaman tidak terwujudnya target kedaulatan pangan di Indonesia, menurut Syahroni juga diakibatkan lantaran UU Nomor 41 Tahun 2009 tentang perlindungan lahan pertanian berkelanjutan belum diterapkan dengan optimal.

Menurut dia, UU Nomor 41 Tahun 2009 tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan perlu tegas dan konsekuen dijalankan dan tidak boleh selalu kalah dengan investasi nonpertanian.

Ia berpendapat selama ini UU tersebut belum tersosialisasi sempurna dan belum menjadi rujukan atau aturan pelaksanaan di bawahnya misalnya dalam bentuk PP atau perda yang terkait perlindungan lahan pangan berkelanjutan.

Syahroni mendapati di beberapa daerah memang UU Nomor 41 Tahun 2009 tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan ini belum jelas pelaksanaannya, peraturan pelaksanaan di tingkat daerah juga belum ada sehingga wajar jika laju alih fungsi terus tinggi.

Sementara dalam lingkup yang lebih sempit, keresahan petani pun kian menjadi. Maka model dan konsep baru pembangunan pertanian pun tak bisa lagi menunggu untuk diterapkan.

Pewarta: Hanni Sofia
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2018