Jakarta (ANTARA News) - Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menyebut garam merupakan salah satu komoditas yang strategis karena sangat dibutuhkan dalam semua sektor kehidupan.

Bagi manusia, digunakan untuk konsumsi, sedangkan industri guna menunjang proses produksinya, seperti industri kimia, aneka pangan dan minuman, farmasi dan kosmetika, hingga pengeboran minyak.

“Tanpa garam, industri kertas tidak bisa berproduksi. Tanpa garam, kontak lensa tidak bisa diproduksi. Jadi, penggunaannya sangat luas. Bahkan, di Batam, ada perusahaan yang saat ini membutuhkan garam sekitar 2.000 ton,” kata Airlangga melalui keterangan resmi diterima di Jakarta, Senin.

Menurut Airlangga, kebutuhan garam nasional tahun 2018 diperkirakan sekitar 3,7 juta ton.

Jumlah tersebut menjadi tantangan bagi industri pengolahan garam nasional agar bisa memenuhi dari produksi dalam negeri sehingga mengurangi ketergantungan terhadap impor.

“Indonesia memiliki potensi daerah yang perlu dikembangkan menjadi basis produksi industri garam secara intensifikasi, di antaranya adalah di Nagekeo, Nusa Tenggara Timur,” ungkapnya.

Perlu diketahui, kualitas garam yang digunakan oleh industri tidak hanya terbatas pada kandungan natrium klorida (NaCl) yang tinggi, yakni minimal 97 persen.

Namun, masih ada kandungan lainnya yang harus diperhatikan seperti Kalsium dan Magnesium dengan maksimal 600 ppm serta kadar air yang rendah. Standar kualitas ini yang dibutuhkan industri aneka pangan dan industri chlor alkali plan (soda kostik).

Sedangkan garam yang digunakan oleh industri farmasi untuk memproduksi infus dan cairan pembersih darah, harus mengandung NaCl 99,9 persen.

Airlangga memberi gambaran, industri pengolahan garam mampu berkontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.

Misalnya, dari impor bahan baku garam sebesar 3,7 juta ton yang senilai Rp1,8 triliun, bisa menghasilkan nilai tambah tinggi hingga menjadi Rp1.200 triliun.

“Kemudian, untuk penyerapan tenaga kerja di industri pengolahan garam dan turunannya sebanyak 3,5 juta orang, serta mampu meningkatkan devisa negara sebesar USD5,6 miliar dari eskpor produk-produk industri yang menggunakan bahan baku garam,” jelasnya.

Menperin menyatakan, pemerintahan di bawah kepempinan Presiden Joko Widodo berkomitmen untuk semakin menciptakan iklim investasi yang kondusif dan memudahkan para pelaku industri menjalankan usahanya di Indonesia.

“Salah satu upayanya adalah menjaga pasokan bahan baku industri agar tidak terganggu, sehingga indutri bisa lebih ekspansif dan terus menyerap banyak tenaga kerja,” ujarnya.

Dirjen Industri Kimia Tekstil dan Aneka (IKTA) Achmad Sigit Dwiwahjono mengungkapkan, kebutuhan bahan baku garam untuk industri nasional sekitar 3,7 juta ton pada tahun 2018 tersebut, akan disalurkan kepada industri Chlor Alkali Plant (CAP), untuk memenuhi permintaan industri kertas dan petrokimia sebesar 2.488.500 ton.

Selain itu, bahan baku garam juga didistribusikan kepada industri farmasi dan kosmetik sebesar 6.846 ton serta industri aneka pangan 535.000 ton.

Sisanya, kebutuhan bahan baku garam sebanyak 740.000 ton untuk sejumlah industri, seperti industri pengasinan ikan, industri penyamakan kulit, industri pakan ternak, industri tekstil dan resin, industri pengeboran minyak, serta industri sabun dan detergen.

“Beberapa sektor tersebut mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi, seperti industri petrokimia, makanan dan minuman, serta farmasi dan kosmetik,” ungkap Sigit.

Baca juga: Pabrik pengolahan garam senilai Rp900 miliar beroperasi di Gresik

Pewarta: Sella Panduarsa Gareta
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018