... saat di dalam komplek itu ada orang hebat kalangan menengah itu bisa memancing daya tarik...
Jakarta (ANTARA News) - Apa hubungan antara pembangunan kota --terutama kota baru-- dengan kehadiran orang kaya dan Korea Selatan? Peneliti tata kota dari Universitas Harvard, Prof Richard B Peiser, mengatakan, Korea Selatan adalah negara yang bagus untuk banyak negara, termasuk Indonesia, belajar membangun kota dan ibu kota baru.

Masukan dari Peiser itu juga dapat dikaitkan dengan rencana pemerintah Indonesia yang berniat memindahkan ibu kota dari Jakarta ke kota lain. Sementara Jakarta tetap menjadi pusat bisnis. Korea Selatan saat ini memiliki kota Sejong yang ikut mengurangi kepadatan dan kemacetan di ibu kota Seoul.

Untuk membangun kota baru --apalagi ibu kota-- jelas memerlukan uang yang sangat banyak dan pelibatan banyak sekali pihak, pun transparansi prosesnya serta pengawasan. Yang tidak kalah penting adalah konsistensi payung hukum dan politis dari satu rezim penguasa kepada penggantinya dan seterusnya.

"Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan jika ingin membangun kota baru yaitu biaya pembebasan lahan dan pembiayaan infrastruktur," kata Peiser di sela acara diskusi The Economics of New Towns: Why They So Often Fail? di Jakarta, Kamis.

Dia mengatakan, pembebasan lahan cukup menghabiskan banyak biaya termasuk untuk infrastruktur. Banyak negara-negara di dunia yang gagal membangun kota baru karena tidak bisa konsisten dalam membangun setidaknya selama 10 tahun pertama.

Sebaliknya, jika sudah bisa konsisten membangun selama satu dasarwarsa awal maka prosentase kesuksesan dapat meningkat.

Peiser mengingatkan para pemangku kepentingan juga harus mempertimbangkan sejumlah populasi penting apabila membangun kota baru, yaitu kalangan orang kaya dan berkemampuan. Saat ada orang yang kerkemampuan tinggal di kota baru tersebut maka dapat memicu pertumbuhan ekonomi suatu wilayah.

Orang kaya, kata dia, menjadi penunjang pertumbuhan positif kota baru. Hal sebaliknya yaitu kota baru tanpa orang kaya justru tidak berkembang dengan baik seperti di kawasan relokasi perang dunia dengan populasi orang tidak kuat secara ekonomi.

"Ada jumlah dana besar dari orang-orang kaya sehingga bisa membangun fasilitas. Mereka menunjang proses pembangunan setidaknya untuk tujuh tahun pertama. Mereka dapat menjadi penentu naik turunnya perekonomian. Kalau bisa bertahan maka kota baru bisa tumbuh," kata dia.

Di tempat yang sama, Rektor Universitas Tarumanegara, Prof Agustinus Irawan, mengatakan, orang kaya atau orang hebat memang bisa menjadi magnet pertumbuhan ekonomi kota baru.

"Pada saat di dalam komplek itu ada orang hebat kalangan menengah itu bisa memancing daya tarik. Memang harus ada pengerak orang hebat dan ada sistem perekonomian yang berjalan secara mandiri," kata dia.

Di Indonesia, kata dia, bisa diterapkan suatu komplek terdapat gugus milik orang kaya kemudian di sisi lain berisi kalangan menengah ke bawah sehingga semua kalangan memiliki kesempatan yang sama tinggal di kota baru.

Menurut Irawan, sejumlah pemikiran dari Peiser soal pembangunan kota baru itu berasal dari penelitian yang dilakukan peneliti dari Harvard itu terhadap sejumlah kota di dunia. Ide-ide dari Peiser bisa diserap para pemangku kepentingan di Indonesia dengan mengkombinasikan kearifan lokal.

"Di Barat itu jadi referensi tapi tetap nilai lokal harus digabung. Karena kalau kita modern sepenuhnya seperti mereka juga mungkin tidak akan berhasil juga. Kita harus juga memasukkan budaya kita. Kita gali potensi lokal juga kombinasikan yang dimiliki peneliti luar, bukan sekonyong-konyong diterapkan di Indonesia," kata dia.
 

Pewarta: Anom Prihantoro
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2018