"Tak ada ada kesuksesan tanpa perjuangan yang luar biasa karena proses akan menentukan hasil dari perjuangan kita".

Demikian serangkaian kalimat melekat di kertas karton berwarna coklat yang dilapisi plastik menempel di dinding geribik atau anyaman bambu. 

Tak disangka bangunan yang amat sederhana namun cukup rapi itu adalah kantin bagi peserta pendidikan di Pondok Pesantren Baitul Hidayah di Bukit Panyandaran Mandala Mekar, Desa Cikadut, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.

Sekilas dari alamatnya sudah tergambar bahwa lokasinya berbukit. Artinya berada di ketinggian. Kenyataannya memang berada di ketinggian.

Untuk bisa sampai di Bukit Panyandaran, dari kawasan Terminal Cicaheum, kendaraan akan menempuh jalanan yang terus menanjak berjarak sekira 5 kilometer. Jalanan dengan kemiringan dan tanjakan cukup terjal disertai belokan berada di jalur menuju pondok pesantren ini.

Kesan pertama adalah pesantren ini berada di daerah terpencil, sepi dan hanya satu akses jalan untuk bisa menjangkaunya. Tidak ada kendaraan umum dan tidak pula berada di kawasan permukiman warga.

Kesan lainnya adalah ketika bisa sampai di sini, seolah berada di atas awan karena bisa melihat Kota Bandung. Bukan hanya saat cerah, kabut maupun awan yang menyelimuti kota itu juga bisa terlihat jelas dan seolah dekat.

Bila cuaca cerah di malam haripun, lampu-lampu dari Kota Bandung, terlihat jelas. Topografinya yang berada di ketinggian dan alamnya yang masih terjaga menyebabkan suasana masih sangat alami dan udara yang sejuk.

Suasana alami yang masih terjaga bisa dilihat dari banyaknya pepohonan ketika memasuki Bukit Panyandaan. Di samping beragam sayuran, juga banyak tanaman keras dan pepohonan, seperti jati dan jabon di kanan atau kiri jalan.

Kawasan yang terjaga keasriannya seperti itu menjadi habitat bagi berbagai belalang, burung, jangkrik serta aneka serangga yang menempel dan terbang dari pohon ke pohon mengeluarkan suara keras bersahut-sahutan. Karena itu, kalau ingin merasakan suasana kawasan yang masih alami maka datanglah ke Bukit Panyandaran.

Pada suasana seperti itu, Ubaidzaki bersama sekira 250 santri lain menjalani hari-hari dan mengisi usia remajanya di masa pendidikan yang diselenggarakan pondok pesantren ini. Santri asal Tambun, Bekasi ini, menempuh pendidikan setingkat SMP, sedangkan kakaknya juga di sini untuk tingkat SMA.

Suasana ceria tampak mewarnai kehidupan para santri di sini. Meski kehidupan sehari-hari berada di suasana yang jauh dari keramaian kota, jauh dari kepadatan penduduk dan arus lalulintas dan dalam suasana pendidikan yang disiplin serta mandiri, santri telihat "menikmati" dan terbiasa dengan aturan yang diterapkan.

"Di sini senang karena banyak teman," katanya. Dia mengemukakan, orang tuanya tiap bulan datang menjenguknya di pondok pesantren ini.

Meski berada di daerah yang terpencil, namun pola pendidikan di sini dirancang secara modern. Dari pakaiannya saja, santri memakai seragam jas hitam. Selain itu, mendalami dan menggunakan bahasa Inggris dan Arab.

Majalah dindingnya menggunakan bahasa Inggris, gedung atau ruangannya terpampang bahasa Arab. Suasana masih sederhana dan alami, bahkan jauh dari ukuran mewah, namun pola pendidikannya tersistem dan terstruktur berdasarkan pengalaman para alumninya dari Pondok Pesantren Gontor.

Suasana pendidikan juga sedemikian baik. Walaupun lokasi belajarnya kadang di saung-saung. namun untuk asramanya sudah lebih bagus karena berupa gedung dua lantai. Di asrama inilah, santri beristirahat pada malam hari.

Para santri menjalani hari-hari yang padat kegiatan dan juga dimotivasi untuk menempuh pendidikan yang lebih baik setelah lulus dari pondok pesantren ini. Misalnya, melanjutkan pendidikan ke luar negeri.

Tak heran, mereka tak segan menyebutkan cita-citanya ingin melanjutkan ke beberapa universitas terkemuka di dunia. Misalnya, Oxford di Inggris dan sebagainya.


Keinginan kuat

Keberadaan Pondok Pesantren Baitul Hidayah diawali dari keinginan kuat dari Martono dan Agnes Diah Sri Suntari.

Pada 17 Oktober 1982, mereka resmi melaksanakan pernikahan di Magelang, Jawa Tengah.

Dari pernikahan itu mereka dikaruniai empat anak yang bernama Dimas Adhi Prasetyo (Adhi), Angelia Diah Rani Andriani (Icha), Adhi Cahyo Kusumo (alm Rio) dan anak bungsunya Cinta Adelia Larasati Putri.

Martono yang pernah menjabat Kepala Divisi Properti PT Telkom dan keluarga memiliki satu cita-cita untuk bisa memberikan hal positif dalam bidang keagamaan. Hal itu tecermin dari keinginan mereka agar suatu saat mereka bisa mendirikan sebuah lembaga pendidikan tempat anak-anak menimba ilmu agama.

Untuk mewujudkan mimpi tersebut, dirintislah Yayasan Baitul Hidayah Nurul Khalish. Keinginan untuk mendirikan pesantren bermula sekitar awal tahun 2002, dengan cikal bakalnya adalah pendirian Taman Kanak-kanak (TK) Istiqomah di Desa Sinom, Jatihandap, Bandung (saat ini namanya TK Nurul Khalish).

Kini, yayasan itu juga menaungi Pondok Pesantren Baitul Hidayah, sebagai wujud dari cita-cita mendirikan lembaga pendidikan yang modern dan berkembang. Pondok pesantren ini didirikan di atas tanah wakaf Keluarga Martono dan Agnes seluas 1,5 hektare (ha) dengan nomor akta wakaf 05/w.2/2009 berada di ketinggian 950 meter di atas permukaan laut (mdpl).

Sampai saat ini lahan yang sudah diwakafkan oleh Keluarga Martono seluas sekitar 3,5 ha. Aktivitas Pondok Pesantren Baitul Hidayah dimulai dari bulan Sya`ban 1431 Hijriyah bertepatan dengan 9 Juli 2010.

Saat ini, program pendidikan di Pondok Pesantren Baitul Hidayah ini sudah memasuki tahun kedelapan. Pada tahun 2016 Pondok Pesantren Baitul Hidayah menerima penyetaraan muadalah KMI Gontor dengan jumlah santri lebih dari 250 santri yang datang dari berbagai wilayah di Indonesia (Medan, Padang, Bontang, Papua, Jawa Tengah, Jawa Timur) dengan dominasi wilayah Bandung dan sekitarnya.

Secara umum program pesantren ini memadukan pola pesantren tradisional dan modern dengan corak terpadu antara sistem sekolah/madrasah dan sistem pesantren (asrama). Secara spesifik, program di Pondok Pesantren Baitul Hidayah ini adalah perpaduan antara program pendidikan, pengajaran dan Ihya Al Quran.

Program pendidikan dengan pola pengasuhan 24 jam (pola pengasuhan berkiblat pada Pondok Modern Darussalam Gontor). Untuk program pengajaran, proses belajar mengajar dilakukan di kelas melalui sistem Kulliyatu-l-Mu`allimin Al-Islamiyah (KMI), kemudian untuk Program Ihya Al-Quran terdiri atas program Tahsin dan Tahfidz Al-Quran.

Santri juga diberikan program pendidikan Bahasa Arab dan Inggris, agama dan umum. Selain pelajaran akademik, cita-cita pondok ini kedepan, santri yang ikut program ini juga dibekali life skill keterampilan ilmu pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, teknologi ramah lingkungan dan ilmu kewirausahaan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan orientasi pemberdayaan mereka kelak di kemudian hari.

Saat ini Pondok Pesantren Baitul Hidayah dalam masa pengembangan prasarana, yaitu masjid jami dan asrama santri. Dengan bertambahnya santri baru yang mendaftar, maka dibutuhkan tempat tinggal yang nyaman untuk proses pendidikan dan pengajaran.

Meski masih dalam tahap pengembangan yang membutuhkan dukungan berbagai pihak, Wakil Ketua MPR Hidayat Nurwahid menyatakan kekagumannya atas keberadaan pondok pesantren ini.

"Terima kasih Ibu Agnes dan Bapak Martono atas perannya yang luar biasa. Ini benar-benar luar biasa, dunia-akhirat," kata Hidayat setiba di pondok pesantren ini pada Selasa (13/3).

Kedatangan Hidayat untuk menyampaikan sosialisasi Empat Pilar MPR RI. Kegiatan ini merupakan rangkaian peringatan sewindu Pesantren Baitul Hidayatdi Bukit Panyandaran. Pimpinan Pondok Pesantren Baitul Hidayah Ustad Iwan Sofyan Andi menyambut gembira kedatangan Hidayat Nurwahid dan anggota MPR TB Soenmanjaya yang akhirnya tiba di pesantren ini.

"Ini seperti mimpi yang menjadi kenyataan," katanya yang mengemukakan, daerah itu sampai sekarang belum banyak dikenal. Bahkan untuk lingkup Bandung saja, belum banyak warga yang tahu.

Delapan tahun lalu daerah tersebut belum ramai. Ketika pesantren ini dibuka, barulah mulai ada kehidupan.

Meski berada di daerah terpencil, namun sebagian kebutuhan pesantren bisa dipenuhi sendiri karena potensi alamnya yang cocok untuk hortikultura seperti sayuran, bawang merah, cabai dan buah-buah. Potensi lainnya adalah peternakan ayam, kambing dan sapi atau kerbau.

Potensi yang belum banyak diketahui masyarakat dan belum dipopulerkan adalah potensi wisata, baik wisata religi maupun wisata alam. Potensi wisata alam dan pemandangan dilandasi topografi bahwa Bukit Panyandaan yang lebih tinggi dibanding wilayah lainnya di Bandung.

Dari bukit ini, Kota Bandung terlihat jelas. Itu adalah daya tarik tersendiri bagi banyak orang yang semakin membutuhkan alternatif destinasi wisata di masa mendatang.

Mungkin ke depan perlu dipikirkan atau dikaji mengenai kemungkinan memadukan pengembangan kawasan ini, yakni sebagai objek wisata religi, wisata alam/pemandangan dan wisata pendidikan.

Potensi itu terlihat nyata di kawasan ini dan untuk mewujudkan memadukannya mungkin masih butuh proses dan waktu. Namun "tak ada kesuksesan tanpa perjuangan yang luar biasa".

Pewarta: Sri Muryono
Editor: Gilang Galiartha
Copyright © ANTARA 2018