"Rui xue zhao feng nian," pesan singkat melalui WeChat yang dikirimkan seorang wartawan senior di Beijing menggugah kemuskilan atas fenomena alam yang terjadi pada Sabtu (17/3) pagi.

Halaman muka telepon seluler saat itu tertulis angka 3 derajat Celcius sebagai hal yang wajar karena memang sudah memasuki musim semi yang ditandai dengan perayaan Tahun Baru China pada pertengahan Februari lalu.

Masyarakat China menyebut Tahun Baru Imlek itu dengan "chun jie" yang berarti Perayaan Musim Semi.

Atribut-atribut musim dingin pun diturunkan, seperti toko-toko pakaian sudah mulai membanting harga jaket tebal dan terpal yang menutupi tanaman hias di pinggir-pinggir jalan sudah disingkap agar leluasa bersemi kembali seiring dengan berakhirnya libur panjang Imlek pada 12 Maret 2018.

Namun hujan salju pada Sabtu (17/3) pagi hingga sore tetap menyisakan pertanyaan karena sejak akhir tahun lalu, Beijing diramalkan tidak turun salju pada 2018.

"Tidak lazim memang," demikian wartawan senior tadi mengomentari turunnya salju yang makin siang intensitasnya makin tinggi itu.

Sementara itu, perhatian sebagian masyarakat Tiongkok tertuju pada aktivitas sekumpulan legislator di Balai Agung Rakyat China.

Puncak dari pertemuan anggota parlemen (NPC) yang digelar sejak Jumat (9/3) hingga Sabtu (17/3) itu adalah disetujuinya Xi Jinping kembali menjabat Presiden China untuk periode keduanya pada lima tahun mendatang.

Xi dipilih secara bulat oleh 2.970 orang yang memiliki hak suara. Sebuah kepercayaan politik luar biasa bagi politikus berusia 64 tahun itu sehingga tidak mengherankan jika dia dijadikan penghulu segala kebijakan (the core) yang perannya mirip dengan "the paramount leader" Mao Zedong saat memimpin negara berpenduduk terbanyak di dunia itu.

Koleganya, Wang Qishan, masih menyisakan satu suara tidak setuju untuk bisa menduduki jabatan Wakil Presiden China mendampingi Xi.

Xi dianggap mampu membawa harapan bagi 1,4 miliar jiwa penduduk China sehingga layak meneruskan kepemimpinan kembali.

Bukan sekedar "otak-atik gathuk" kalau pada akhirnya sedikit ada kecocokan antara peristiwa yang terjadi di Balai Agung Rakyat dan WeChat dari seorang teman wartawan senior tadi atas fenomena alam di Beijing pada pagi itu.

"Rui xue zhao feng nian" merupakan pepatah kuno China yang artinya turunnya salju pada saat yang tepat akan menghasilkan panen yang bagus.

Turunnya salju pada Sabtu (17/3) bukan saja menyisakan anggapan sebagian besar warga Beijing sebagai "salju salah musim" karena terjadi pada saat musim dingin sudah berlalu.

Turunnya salju kemarin juga tidak sekadar melahirkan kesimpulan baru Observatorium Meteorologi mengenai berakhirnya kemarau panjang yang terjadi dalam 47 tahun terakhir karena dalam waktu 145 hari berturut-turut Beijing hingga triwulan pertama ini tidak diguyur hujan setitik pun.

Namun turunnya "salju salah musim" itu mengantarkan Xi Jinping menduduki singgasana untuk masa bakti keduanya.

"Sepertinya hujan salju ini mewakili harapan seluruh rakyat daratan Tiongkok kepada Pak Xi," kata wartawan senior tadi sembari mengirimkan tulisan "rui xue zhao feng nian" untuk yang ketiga kalinya kepada Antara melalui WeChat.



Seumur Hidup?

Sidang Umum NPC yang dimulai sejak 9 Maret 2018 tidak saja melahirkan keputusan duet Xi Jinping-Wang Qishan untuk memimpin multietnis rakyat China pada lima tahun mendatang.

Apalagi keterpilihan Xi bukan hal yang luar biasa dalam sistem perpolitikan China di bawah kendali Partai Komunis.

Dengan terpilihnya Xi sebagai Sekretaris Jenderal Partai Komunis China (PKC) pada kongres nasional bulan Oktober 2017, maka secara otomatis jabatan Presiden China sekaligus pemimpin Komisi Militer Pusat (CMC) sudah di tangan.

Belum lagi selama periode 2013-2018 yang mampu membawa China menuju kegemilangan yang luar biasa, terutama di bidang ekonomi yang tiba-tiba menyeruak di posisi terbesar kedua setelah Amerika Serikat, menjadi wajar jika Xi harus melanjutkan kepemimpinannya.

Namun yang tidak kalah menarik dari perjalanan Sidang Umum NPC tahun ini adalah disahkannya amandemen Undang-Undang Dasar China.

Amandemen tersebut merupakan yang pertama kali dalam 14 tahun terakhir. Pemerintah Republik Rakyat China pertama kali mengesahkan UUD pada 1954. Kemudian sejak diperbarui pada 1982, UUD China telah empat kali diamandemen, yakni pada 1988, 1993, 1999, dan 2004.

Amandemen 1988 hingga 1999 berisi tentang reformasi hak guna lahan, status hukum perusahaan swasta, teori pembangunan sosialisme berkarakter China, pencantuman kembali frasa "rancangan ekonomi" sesuai dengan "ekonomi pasar sosialisme", dan penyatuan teori Deng Xiaoping.

UUD versi Amandemen 2018 juga mencantumkan pemikiran Xi tentang pembangunan sosialisme sesuai dengan karakter rakyat China pada era baru.

Terlepas dari semua itu, UUD versi Amandemen 2018 telah mencabut pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden China selama dua periode.

Pembatasan masa jabatan Presiden China diberlakukan sejak 1982 untuk menghindari terulangnya kepemimpinan Mao Zedong hingga wafat.

Namun UUD versi Amandemen 2018 pembatasan masa jabatan kepala negara tersebut dihapus berdasarkan keputusan Sidang Umum NPC pada Minggu (11/3) lalu.

Amandemen tersebut tentu saja memunculkan pertanyaan, apakah Xi Jinping akan memegang jabatan Presiden China hingga akhir hayatnya seperti yang terjadi pada Mao Zedong?

Hal itu bisa saja terjadi, mengingat sampai saat ini dan mungkin dalam masa-masa mendatang kapasitas ketokohan Xi di PKC belum ada yang mampu menandingi.

Sistem pemerintahan di China memang terasa agak unik karena negara atau pemerintah merupakan pengejawantahan dari PKC sebagai partai politik berkuasa.

Seorang ketua umum partai, dalam hal ini Sekjen PKC, sekaligus memegang jabatan sebagai kepala negara dan panglima tertinggi militer (CMC).

Berdasarkan UUD 1982, China pernah mencoba memisahkan jabatan-jabatan tersebut saat Deng Xiaoping bertindak sebagai "the paramount leader" sekaligus memegang jabatan panglima tertinggi militer, Li Xiannian (Presiden), Zhao Ziyang (Perdana Menteri), dan Hu Yaobang (Sekjen PKC).

Eksperimen pemisahan jabatan di partai politik dan kepala pemerintahan/negara itu ternyata berbiaya sangat mahal dengan meletusnya tragedi berdarah di Tiananmen pada 1989.

Walau begitu, wacana Xi Jinping akan menjadi presiden seumur hidup sebagaimana penghapusan pembatasan masa jabatan yang tertuang dalam UUD versi Amandemen 2018 tidak sepenuhnya benar.

Hal yang paling mudah dilihat adalah UUD versi Amandemen 2018 tidak diputuskan secara bulat oleh NPC.

Dari 2.964 suara, tercatat sebanyak 2.958 suara mendukung amandemen, dua suara menentang amandemen, tiga abstain, dan satu suara lainnya tidak sah.

"Kalau tiga periode (jabatan Xi sebagai presiden) sangat mungkin bisa. Tapi kalau seumur hidup sepertinya rakyat banyak yang tidak setuju," kata seorang wartawan lain dari media resmi di China yang tidak bersedia menyebutkan namanya kepada Antara di Beijing, Minggu (18/3). (T.M038)

Pewarta: M. Irfan Ilmie
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2018