Bandung (ANTARA News) - Guru Besar Fakuktas Teknologi Industri Institut Teknologi Bandung (ITB), Prof Dwiwahju Sasongko menciptakan batubara hibrida yakni batubara yang digunakan sebagai bahan bakar padat yang ramah lingkungan.

Dwiwahju Sasongko dalam siaran pers Direktorat Alumni dan Humas ITB, Senin, mengatakan batubara hibrida dibuat dengan mencampurkan partikel batubara dan biomassa (serbuk gergaji kayu) menggunakan perekat (binder) kemudian memprosesnya dengan pirolisis pada temperatur rendah (200-300 derajat Celcius) atau sering disebut sebagai proses torefaksi.

Dengan proses ini, sebagian bahan volatil mengalami dekomposisi dan terlepas dari matriks batubara/biomassa sehingga nilai kalori bahan bakar padat ini lebih tinggi dibandingkan nilai kalor umpan.

Biomassa menjadi lebih hidrofobik sehingga tidak mudah membusuk dan tingkat ketergerusannya meningkat sehingga pengecilan ukuran partikel batubara hibrida untuk umpan FBC maupun PF lebih mudah dilakukan.

Yang lebih menarik, emisi CO2 pada pembakaran batubara hibrida lebih rendah dibandingkan dengan batubara umpan karena CO2 yang dihasilkan pada pembakaran biomassa adalah CO2 netral.

Pak Song, panggilan akrab Dwiwahju Sasongko, menjelaskan bahwa saat ini Indonesia memiliki cadangan terbanyak ke-sembilan atau sekitar 2,2 persen dari seluruh cadangan batubara dunia.

"Sayangnya, sekitar 80 persen cadangan batubara Indonesia termasuk batubara peringkat sedang dan rendah dengan nilai kalor kurang dari 5000 kkal per kilogram," katanya.

Batubara dengan nilai kalor yang rendah ini masih sedikit atau belum dimanfaatkan dengan produksi batubara lebih dari 400 juta ton per tahun, hanya sekitar 20 persen yang dimanfaatkan untuk keperluan dalam negeri sementara 80 persen diekspor.

Agar lebih ramah lingkungan, teknologi pemrosesan batubara memerlukan terobosan dalam pengembangannya. Terobosan yang telah diimplementasikan pada skala komersial adalah pada teknologi pembakaran. Industri dapat memilih tiga jenis tungku yaitu fixed bed (stoker), fluidized bed (FBC=Fluidized Bed Combustion), dan entrained bed (PF=Pulverized Firing).

Akhir-akhir ini, FBC menarik perhatian karena temperatur operasi yang relatif rendah (800-900 derajat Celcius) yang sedikit menghasilkan NOx dibandingkan dengan 1200-1400 derajat Celcius pada PF.

FBC menggunakan umpan partikel batubara ukuran skala mm sehingga memerlukan energi yang lebih kecil untuk penggerusan dibandingkan dengan PF yang membakar partikel batubara skala ?m.

Selain itu, penambahan batu kapur selain pasir sebagai media pemanas dapat menangkap SOx menghasilkan gipsum. Seiring dengan perkembangan FBC, teknologi PF juga berkembang dengan modifikasi teknik pembakaran sehingga temperatur operasi lebih rendah yang berarti penurunan emisi NOx.

Selama ini, Sasongko dan tim juga melakukan penelitian lain untuk menanggulangi dampak negatif pada pemrosesan batubara.

Selain dilakukan secara fisik dan kimiawi, kandungan sulfur dalam batubara dapat disisihkan dari batubara secara biologik dengan memanfaatkan Thiobacillus ferrooxidans.

Dia juga memanfaatkan Trichoderma sp dan metode biologik lainnya untuk memutus rantai hidrokarbon dalam matriks batubara menghasilkan bahan bakar cair melalui biosolubilisasi dan dengan mengkonversi batubara menjadi bahan bakar cair, abu tidak akan dihasilkan pada pembakaran.

Selain itu, Sasongko dan tim juga melakukan penelitian untuk memanfaatkan abu batubara yang dihasilkan PLTU untuk sintesis zeolit.

Zeolit dapat berfungi sebagai adsorben atau katalis dan memiliki nilai ekonomi yang jauh lebih menjanjikan dibandingkan dengan abu batubara yang saat ini dimanfaatkan sebagai bahan baku pabrik semen atau konstruksi/bangunan.

Penelitian-penelitian tersebut tentunya menjadi jawaban atas amanah pemerintah dalam pasal 25 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, yang menyatakan kegiatan penelitian, pengembangan, dan penerapan teknologi energi diarahkan untuk mendukung industri energi nasional dan secara eksplisit pasal 24 ayat (2) memberikan kesempatan lebih besar kepada perusahaan nasional dalam pengelolaan minyak, gas bumi, dan batubara.

"Mengingat beberapa keunggulan yang dimiliki batubara dan telah banyak upaya untuk mengatasi dampak negatifnya, Indonesia memiliki potensi untuk memberikan kontribusi pada pengembangan teknologi pemrosesan batubara ramah lingkungan di masa kini dan masa depan," kata Dwiwahju Sasongko.

Baca juga: Walhi galang kekuatan lawan industri batubara
Baca juga: Harga batubara naik 1,16 persen di tengah turunnya harga minyak

Pewarta: Ajat Sudrajat
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2018