Jakarta (ANTARA News) - Seiring meningkatnya jumlah turis yang ingin menyaksikan keindahan Raja Ampat, kapal wisata menjamur di kepulauan yang sering disebut sebagai surga kecil di bumi Papua tersebut.

Namun selain membawa manfaat ekonomi, perkembangan di sektor pariwisata tersebut juga berpotensi membawa gangguan bagi lingkungan. Aktivitas buang jangkar kapal-kapal wisata itu di Perairan Raja Ampat mengancam keselamatan terumbu karang.

Kristian Thebu, Ketua Dewan Adat Suku Maya, suku penghuni mula-mula wilayah Raja Ampat yang mencakup 20 subsuku lebih, mengatakan bahwa ada 45 kapal yang terdaftar setiap tahun.

"Masalah yang dihadapi sekarang masih ada bom sedikit, tapi yang paling besar adalah jangkar kapal-kapal yang wisata," kata Kristian disela acara penyambutan kedatangan Kapal Rainbow Warrior milik Greenpeace di Pelabuhan Waisai, Raja Ampat, Minggu.

"Tapi banyak yang datang dan banyak yang pergi. Setiap hari ada kapal. Tamu kita di 2017 hampir 23.000 orang, itu yang terdata. Sedangkan yang tidak terdata yang masuk itu hampir lebih banyak dari itu," ia menambahkan.

Jangkar kapal wisata bisa menimbulkan masalah karena ketika kapal bergoyang bersamaan dengan arus gelombang atau angin, rantainya akan bergerak dan menyebabkan kerusakan terumbu karang.

"Itu akibat dari arus karena jangkar melibatkan arus air yang kuat, itu menarik terumbu karang. Dan juga kapal-kapal yang nabrak tanpa tahu kalau mereka menabrak," jelas Kristian.

Kristian, yang juga menjabat sebagai Koordinator Kawasan Konservasi Raja Ampat International-Indonesia, berharap pemerintah mengatur titik buang jangkar kapal-kapal wisata itu dengan baik bersama masyarakat adat lewat satu pintu.

"Sebenarnya (ancaman terbesar) bukan wisatawan, tapi pengusaha yang membawa kapal dan belum merasa itu ancaman pada terumbu karang, buang jangkar begitu saja. Perlu ada kajian kembali di antara pemerintah dengan pengusaha, supaya dengan kehadiran dia jangan dia merusak terumbu karang," ujarnya.

Kristian mengatakan bahwa sudah ada pembicaraan dengan pengusaha kapal untuk memetakan titik-titik yang aman untuk membuang jangkar serta penggunaan ikatan mooring yang lebih aman.

Kapal wisata juga bisa menimbulkan kerusakan terumbu karang kalau sampai kandas, sebagaimana yang terjadi pada kapal pesiar Caledonian Sky, yang kandas di sekitar Raja Ampat pada Maret tahun lalu saat sedang tur pengamatan burung di Pulau Waigeo. Kandasnya kapal dengan panjang 90,6 meter, lebar 15,3 meter, serta berat 645 tonnase bobot mati (DWT) itu mengakibatkan terumbu karang di sekitarnya rusak.
 
Dialog multipihak Perlindungan Terumbu Karang di Raja Ampat bersamaan dengan kedatangan Kapal Rainbow Warrior. (ANTARA News/Monalisa)


Tiga untuk Perlindungan

Direktur Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Jasmin Ragil Utomo menyebut tiga hal yang diperlukan untuk melindungi ekosistem laut, yakni pengaturan, pengawasan, dan tindakan hukum.

"Terutama terkait dengan masalah terumbu karang tidak lepas dari pertama, itu pengaturannya, misalnya ada kapal yang mau masuk diatur yang boleh mana yang tidak boleh mana. Paling tidak itu adalah ada pengaturan yang sifatnya adalah mengarahkan agar kapal itu tidak ke mana-mana," kata Jasmin.

"Pengawasannya berbagai pihak harus melakukan pengawasan. Masyarakat bisa melakukan pengawasan dan menyampaikan ke pihak-pihak berkepentingan," katanya.

"Ketiga, kalau itu adalah memang terjadi pelanggaran, tentunya urusan hukum. Karena bagaimanapun kalau itu dijalankan lama kelamaan laut bisa menjadi rusak dan tercemar," ujar dia.

Kepala Dinas Perhubungan Kabupaten Raja Ampat Becky Rahawarin mengatakan pemerintah daerah sedang merancang alur kapal-kapal di Perairan Raja Ampat.

"Nanti kami bikin alur. Kapal tidak boleh berlayar sembarang lagi. Hari kamis nanti, kami akan melakukan survei lagi. Kami sudah bicara dengan pemerintah, Perhubungan, dan mereka telah setuju. Kalau tidak halangan akan kerjasama dengan alur itu," jelas Becky.

Baca juga: Rainbow Warrior merapat di Raja Ampat

Ancaman dari Luar

Purwanto, Koordinator Monitoring Ekologi Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat di Universitas Papua, mengatakan ancaman terhadap terumbu karang di Raja Ampat bukan berasal dari masyarakat Raja Ampat sendiri, tetapi datang dari orang-orang luar.

"Sekarang Raja Ampat semakin banyak pengunjung, semakin banyak home stay. Walau pun kalau kita bandingkan dengan tempat lain di Indonesia atau bahkan dunia kondisi ini jauh sangat lebih baik, tetapi sebaiknya harus jaga dari sekarang karena akan sangat susah ketika karang itu hancur, kembalinya susah, lama sekali," katanya.

"Akan lebih murah dan lebih efektif ketika kita menjaganya sebelum rusak. Ini yang sama-sama perlu dijaga," ia menambahkan.

Organisasi lingkungan Greenpeace melihat tiga tantangan utama yang penting menjadi perhatian seluruh pihak agar kekayaan terumbu karang dan hayati perairan Raja Ampat lestari, yaitu penangkapan ikan dengan cara yang merusak, pencemaran sampah plastik, dan dampak perubahan iklim.

Luas terumbu karang di Indonesia mencapai 2,5 juta hektare. Namun berdasarkan data status terumbu karang yang diungkap Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2017, sekitar 35,15 persen terumbu karang Indonesia dalam kondisi rusak.

Memulihkan terumbu karang yang sudah rusak sangat sulit. Kalau pun bisa diperbaiki, kondisinya tidak akan sebaik semula.

"Laut Indonesia adalah pusat kekayaan hayati terumbu karang terpenting di dunia, di mana ada sekitar 569 jenis karang, maka jangan sampai jumlahnya semakin menyusut, musnah, karena perubahan iklim dan tindakan yang tak bertanggung jawab," kata Arifsyah Nasution, Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia.

Baca juga: Video kedatangan Menteri Susi ke Kapal Rainbow Warrior
 

Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2018