Jakarta (ANTARA News) - Musik Melayu mengalun memenuhi ruangan begitu lampu bioskop dimatikan. Nampak sejumlah anak muda berseragam SMA dengan kemeja yang tak lagi putih, namun berwarna-warni dengan coretan piloks di sana-sini.

Sepertinya mereka hendak melakukan konvoi perayaan saat dinyatakan lulus ujian nasional. Sepeda motor mereka harus terhenti saat beberapa truk milik TNI melintas.

Salah seorang dari kumpulan tersebut adalah Sharifah (Putri Marino). Sama sekali tak terpikir olehnya akan menjadi seorang istri dari perwira TNI kala itu.

Bertempat tinggal di Natuna, memang membuat Sharifah tak asing dengan lagi dengan keberadaan para anggota TNI yang menjaga keutuhan NKRI.

Pasalnya, Natuna, yang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Kepulauan Riau, adalah kepulauan paling utara di selat Karimata.

Di sebelah utara, Natuna berbatasan dengan Vietnam dan Kamboja, di selatan berbatasan dengan Sumatera Selatan dan Jambi, di bagian barat dengan Singapura, Malaysia, Riau dan di bagian timur dengan Malaysia Timur dan Kalimantan Barat.

Natuna juga berada pada jalur pelayaran internasional Hongkong, Jepang, Korea Selatan dan Taiwan.

Nasib inilah yang membawa dirinya bertemu Jaka (Wafda Saifan Lubis), seorang prajurit yang ditugaskan di Natuna.

Kisah kasih Sharifah dan Jaka kemudian dituangkan sang penulis skenario Jujur Prananto dan sutradara Ray Nayoan ke dalam layar lebar berjudul "Jelita Sejuba."
/Vanny.Rantini (/Vanny.Rantini)

Produser eksekutif Krisnawati merasa sangat tergerak melihat pergolakan batin istri-istri tentara. Dia mengaku mendapat ide cerita langsung dari Natuna, yang berasal dari beberapa teman-temannya yang seorang istri prajurit.

Mereka harus bisa menjalankan keutuhan keluarganya ketika sang suami pergi bertugas. Pada saat yang sama sebagai pasangan, para istri ini adalah perempuan-perempuan yang merindukan kekasihnya.

"Kita lupakan sosok Sharifah yang kuat, tegar, rendah hati, penyayang dan tulus ikhlas, tetap tenang saat menghadapi masalah, adalah sosok panutan," kata Krisnawati.

Sementara itu, sang sutradara Ray Nayoan merasa mudah mewujudkan esensi cerita karena ketulusan yang ada pada cerita. "Ketika ide cerita terlontarkan yang saya tangkap ketulusan seseorang yang begitu mencintai negeri ini," ujar dia.

Lewat "Jelita Sejuba," Ray juga ingin membuat Natuna lebih dikenal, mulai dari keindahan alam hingga budaya.

Usaha Ray bergerilya ke sejumlah sanggar di Natuna untuk menangkap lanskap musik Melayu tak sia-sia. Ray berhasil membawa musik Melayu dengan sedikit twist, sehingga penonton modern tetap dapat menikmatinya.

Pelatihan terhadap para aktor dan aktris dalam penggunaan bahasa Melayu Natuna selama sekira satu bulan juga berbuah manis. Para pemain terdengar fasih berbahasa Melayu dengan cengkok khasnya.

Ray juga memasukkan unsur budaya lainnya, yaitu tarian yang dia sisipkan ke dalam sebuah scene. Tidak hanya itu, ikan tongkol asap yang menjadi kuliner khas Natuna juga seakan menjadi menu utama dalam "Jelita Sejuba."

Keindahan alam Natuna tentunya juga tak lupa dimasukkan Ray dalam "Jelita Sejuba." Hamparan batu granit besar di Taman Batu Raksasa atau Alifstone Park misalnya, terlihat indah dalam long-shot yang dilakukan Ray.  

Memasuki cerita, Ray terbilang sukses membawa kisah perjuangan seorang perempuan yang menjadi pendamping hidup seorang prajurit -- mulai dari tes yang dilakukan jelang menikah hingga keteguhan hati yang harus dihadapi saat sang suami harus mengabdi kepada negara.

Fase sebelum Sharifah menikah dituturkan Ray secara runut dalam tempo yang pas, namun sayangnya fase setelah menikah disuguhkan secara cepat yang justru menabrak batasan -- Ray nampaknya kurang detail di beberapa sisi.

Penonton juga diajak menebak-nebak latar waktu film tersebut, meski memang Ray menunjukkan adanya perubahan waktu dengan properti pendukung, misalnya feature phone yang dimiliki Sharifah saat SMA berubah menjadi smartphone saat telah menikah.

Di tengah perjalanan, "Jelita Sejuba" juga seperti sedikit kehilangan fokus cerita. Sudut pandang berubah tidak hanya dari seorang istri prajut -- mungkin dimaksudkan untuk menangkap atmosfer kehidupan di sekitar prajurit.
/Vanny.Rantini (/Vanny.Rantini)

Terlepas dari hal itu, akting Putri Marino patut diacungi jempol. Peraih Piala Citra kategori Pemeran Utama Wanita Terbaik pada 2017 tersebut berhasil menampilkan perjalanan hidup Sharifah.

Putri menampilkan tiga fase kehidupan Sharifah, yaitu saat SMA, kemudian kegelisahan awal menikah, dan menemukan ketangguhan diri menjadi seorang prajurit.

Istri aktor Chicco Jerikho itu dapat membawa suasana ceria, bahkan penonton tertawa dengan keluguan kelucuan Sharifah saat masih SMA. Putri juga berhasil membuat penonton hanyut dalam pergolakan batin Sharifah saat ditinggal suami bertugas.

Lawan main Putri, Wafda Saifan Lubis juga memiliki performa yang apik dalam "Jelita Sejuba." Pria yang dikenal sebagai vokalis dari Volume Band itu berhasil memerankan tentara muda karismatik.

Tak hanya soal penampilan yang sudah sangat mirip dengan seorang prajurit, Wafda benar-benar dapat merasuki karakter seorang prajurit -- mulai dari cara berbicara hingga bercanda.

Meski terdapat kekurangan di sana-sini, "Jelita Sejuba" dapat menggambarkan pergolakan batin seorang istri TNI yang menggetarkan hati. Ditambah dengan akting para pemain yang juga memikat hati, film ini menjadi sedap untuk dinikmati.

"Jelita Sejuba" tayang mulai hari ini, Kamis 5 April 2018.

Baca juga: Putri Marino fasih berbahasa Melayu di "Jelita Sejuba"
Baca juga: Wafda Saifan Lubis latihan jadi tentara untuk "Jelita Sejuba"

Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2018