Nusantara disebut sebagai negeri "gemah ripah loh jinawi" atau negara dengan anugerah kekayaan alam yang melimpah. Keberadaan sebagai negara maritim dan agraris selalu menjadi kebanggaan di antara bangsa lainnya.

Namun keadaan tersebut tidak menjamin seluruh rakyatnya akan bisa kaya dan sejahtera bila hanya mengandalkan keunggulan maritim serta agraris. Ironisnya, mereka yang mencari nafkah dengan berprofesi di bidang agraria dan maritim justru mereka yang paling akrab dengan jeratan rentenir, hidup jauh dari taraf sejahtera.

Rata-rata petani bukan mengolah lahan milik sendiri, melainkan sawah garapan milik orang lain dengan sistem bagi hasil.

Banyak petani jatuh pada rayuan rentenir karena pada saat panen, meski banyak menghasilkan pendapatan, dan dapat untuk memenuhi kebutuhan hidup, tetapi ketika akan memulai bercocok tanam lagi, mengalami kesulitan untuk modal bibit, dan pemeliharaan tanaman yang nilainya tidak sedikit.

Dalam periode awal tanam itulah rata-rata petani "berserah diri" pada rentenir karena membutuhkan biaya cepat, dengan harapan dapat membayarnya setelah panen.

Daryo, salah satu petani sayur di Desa Lamomea, Kabupaten Konawe Selatan mengaku berkali-kali berganti profesi demi membayar hutangnya kepada lintah darat, ketika hasil panennya tidak sesuai dengan yang perkiraan.

"Gagal panen," kalimat singkat itu yang menjadi alasan kuat ia mendatangi rentenir lalu menjalani berbagai profesi, demi dapat membayar hutang serta melangsungkan hidup.

Tahun lalu ia menguatkan fisik mengayuh sepeda berkeliling untuk menjajakan tape, karena gagal panen -- suatu mimpi buruk bagi setiap petani, guna membayar hutang.

Pekerjaan tersebut kerap ia lakukan untuk membayar hutang kepada rentenir tempat ia menggantungkan harapan, meminjam uang untuk membeli benih.


Berkah lahan tidur

Tetapi alam juga akan memberikan hadiah sendiri bagi individu yang gigih dalam mendapatkan berkah rezeki.

Kini Daryo mengaku sudah bisa tersenyum lega, setelah melalui tahun-tahun yang berat itu. Tidak ada lagi cerita mengenai berhutang kepada rentenir.

Setiap harinya, Daryo beserta puluhan kepala keluarga lain di Desa Lamomea, mulai dapat bekerja keras lagi mengurus tanaman sayuran maupun ternak sapi dan kambing yang telah memberikan mereka pendapatan tetap selama hampir genap satu tahun.

Daryo kembali bisa tersenyum setelah meraih sukses menggarap lahan seluas empat hektar yang dulunya terlantar tertutup alang-alang serta semak belukar.

Lahan tersebut berhasil ditransformasi menjadi lahan produktif dengan implementasi pertanian terpadu dan berkelanjutan yang dilakukan oleh Daryo bersama seluruh masyarakat Desa Lamomea melalui program Kawasan Ekonomi Masyarakat (KEM) Pertamina Lamomea.

Daryo tetap menjadi petani, namun kali ini mengolah di lahan yang lebih menjanjikan, dan dengan kegigihannya serta bantuan berbagai pihak yang mampu menghasilkan pendapatan tetap berkisar Rp4 juta per bulan dari hasil lahan olahan.


Inovasi

Kawasan Ekonomi Masyarakat (KEM) Pertamina Lamomea merupakan Program CSR Pertamina MOR VII bekerja sama dengan Forum Layanan Iptek bagi Masyarakat (FLIPMAS) yang diinisiasi sejak Maret 2017.

Program KEM Pertamina bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang hidup di lahan-lahan marjinal dan terletak di desa terluar, terdepan, terpencil. Tujuannya adalah menjadikan desa binaan dengan inovasi lahan lebih produktif yang mampu mensejahterakan masyarakat.

KEM Pertamina Lamomea mendapatkan pendampingan secara intensif dari FLIPMAS yang diketuai Prof. Dr. Ir. Muhammad Tafik.

"KEM Lamomea telah dibentuk menjadi sebuah kawasan berkehidupan dengan mengusung pertanian terpadu dan berkelanjutan dengan kombinasi penanaman tanaman semusim dan tahunan. Serta pemeliharaan ternak sapi yang diikuti dengan pembuatan kandang sapi yang didesain untuk menghasilkan pupuk organik padat dan cair," ujar Taufik.

Taufik melanjutkan, setelah memberikan pelatihan dan pendampingan, saat ini berbagai tanaman sayuran telah disintesis dari lahan KEM Lamomea.

Tanaman semusim didominasi oleh tanaman sayur, sedangkan untuk tanaman tahunan yakni pepaya dan buah naga.

Tingginya permintaan akan sayuran untuk mensuplai masyarakat kota Kendari membuat frekuensi penanaman sayuran di KEM Lamomea juga menjadi tinggi.

"Diperkirakan telah lebih dari 40 kali siklus tanam dan panen tanaman kangkung dan bayam saja," ujarnya.

Berbagai teknologi budidaya tanaman, tutur Taufik, juga telah diperkenalkan di KEM Lamomea. Di antaranya pemanfaatan bedengan secara optimal dan budidaya sistem lorong untuk tanaman tahunan dan musiman. Biourine atau pupuk organik cair dari urine sapi menjadi salah satu andalan petani di KEM Lamomea dalam budidaya sayuran.

"Dengan penggunaan biourine, tanaman dalam satu siklus tidak perlu menggunakan pestisida kimia sintetis secara signifikan. Karenanya sayuran asal KEM Lamomea cukup ramah lingkungan," jelasnya.

Taufik menambahkan, keberhasilan KEM Lamomea ini juga telah menjadikan kawasan ini menjadi wahana pembelajaran dan sosialisasi. Berbagai kunjungan datang dari pihak luar ke KEM Pertamina Lamomea, seperti mahasiswa Jurusan Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo yang menjadikannya sebagai tempat praktikum lapangan, kunjungan mahasiswa dari beberapa universitas hingga kunjungan belajar siswa sekolah dasar.

Sementara itu, Unit Manager Communication dan CSR MOR VII, M. Roby Hervindo menjelaskan, saat ini program KEM telah berjalan di tiga kawasan di wilayah Sulawesi Tenggara, salah satunya yakni KEM Pertamina Lamomea.

"Jika sebelumnya pendapatan masyarakat Desa Lamomea tidak menentu dari bertani dan beberapa profesi temporer lainnya, dengan adanya program KEM pendapatan petani bisa berkisar Rp3 Juta sampai Rp6 Juta per bulannya," jelasnya.

Pewarta: Afut Syafril Nursyirwan
Editor: Gilang Galiartha
Copyright © ANTARA 2018