Jakarta (ANTARA News) - Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Profesor Syaiful Bakhri mengajak seluruh pihak untuk menjaga harmoni dan perdamaian serta tidak melakukan hal-hal yang bisa memancing disharmoni bangsa.

"Apalagi bangsa Indonesia tengah menatap tahun politik dengan akan digelarnya pemilihan kepala daerah serentak, pemilu legislatif, dan pemilihan pesiden," kata Syaiful dikutip dari siaran pers di Jakarta, Kamis.

Ia mengatakan bila terjadi disharmoni maka persatuan bangsa ini bisa terancam dan akan menimbulkan benih-benih kebencian dan radikalisme.

Menurut dia, salah satu perbuatan yang bisa mengancam disharmoni adalah mempertentangkan agama dengan budaya, dua hal yang menjadi ruh ideologi bangsa ini.

"Agama itu sangat mulia karena titah Tuhan Yang Maha Esa, sedangkan budaya mengandung nilai-nilai luhur dan kearifan lokal bangsa Indonesia dengan segala keberagamannya. Perpaduan itulah yang menjadi sebuah kekuatan dalam Pancasila sebagai fundamental bernegara kita yang sarat dengan harmoni," katanya.

Ia melihat dua entitas yang dalam khazanah Nusantara menjadi peradaban Indonesia itu saat ini sengaja dibenturkan. Agama seolah terpisah, bahkan bertentangan dengan budaya, begitu juga sebaliknya.

Karena itu, kata Syaiful, integrasi agama dan budaya perlu dikuatkan kembali dengan pandangan bahwa agama memberi ruh religius pada budaya dan budaya memberi ruang kontekstualisasi ajaran agama.

"Keduanya tidak bisa dicampuradukkan, tetapi tidak bisa dipisahkan apalagi dipertentangkan. Menjadi religius tidak berarti menanggalkan budaya, dan menjadi berbudaya tidak berarti bertentangan dengan agama," katanya.

Pada bagian lain, ia juga mengajak untuk menghidupkan kembali musyawarah dan mufakat sebagai sarana menyelesaikan persoalan.

Syaiful mengungkapkan, musyawarah dan mufakat adalah solusi terbaik untuk menyelesaikan persoalan yang ada di masyarakat, sesuai dengan ideologi negara ini.

Kalaupun harus diselesaikan secara hukum, kata pakar hukum ini, hendaknya disesuaikan dengan hukum pidana modern yang berdasar sifat humanis dan rasional sehingga pembalasannya tidak semata-mata membuat orang jera, tapi membuat sadar.

"Bahkan memaafkan itu bisa menjadi sebuah sanksi di era masyarakat modern. Di Eropa itu sudah banyak diterapkan, seperti di Belanda. Sayang di Indonesia belum. Di sini masih fokus pada supaya pelaku jera," katanya.

Padahal, lanjut dia, memaafkan justru akan lebih indah dan sesuai dengan hukum Islam dan budaya Indonesia yang majemuk.

"Dengan memaafkan maka harmonisasi itu akan terjadi," kata Syaiful.

Baca juga: Kearifan lokal senjata ampuh tangkal ideologi transnasional

Pewarta: Sigit Pinardi
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2018