Bandung (ANTARA News) - “Jangan-jangan bukan saya yang milih penempaan, tapi penempaan yang milih saya,” kata Ibnu Pratomo (41) saat ditemui di kediamannya di Jalan Salatiga, Antapani, Bandung.

Tidak banyak dikenal oleh anak muda zaman sekarang, menempa adalah kegiatan mengolah logam menjadi pisau, pedang, pusaka, maupun produk lainnya yang dilakukan oleh pandai besi.

Maka, menjadi pandai besi bukanlah pekerjaan yang lumrah. Berkutat dengan api, berbagai peralatan berat, juga perlunya kesiapan mental dan fisik, adalah hal yang tidak mudah dilakukan. Pada zaman kerajaan, pekerjaan menempa pusaka dilakukan  seorang Empu. Dan yang ditempa bukanlah sembarang pisau atau keris, melainkan pusaka yang memiliki nilai filosofis yang tinggi, sehingga memunculkan stigma berbau mistis dan magis.

Minimnya kegiatan menempa dan profesi pandai besi didasari oleh beberapa faktor, di antaranya adalah keterbatasan alat dan tempat. Menurut Ibnu, di Bandung hanya ada dua orang yang memiliki gosali, atau tempat menempa tradisional yang tungku pemanasnya menggunakan bahan bakar arang. Salah satunya adalah dirinya dan kawannya yang juga menjadi perintis komunitas Pijar.

Selain di gosali,  penempaan dapat dilakukan di tungku yang sudah lebih modern dan menggunakan gas. Namun, perbedaannya terdapat pada suhu yang dihasilkan oleh tungku. Tungku gas menghasilkan suhu sekitar 1.000 derajat. Sedangkan pada tungku arang, suhu dapat mencapai 2.500 derajat. Suhu sepanas itu biasanya digunakan dalam pembuatan pamor, atau pusaka berbahan batu meteor.

Panas yang dihasilkan tungku mengubah logam yang berwarna abu menjadi merah menyala. Bahkan jika penempaan dilakukan pada logam yang dipanaskan dalam suhu tinggi, muncul percikan api dan membuat logam berpijar. Pada saat berwarna merah itu lah, logam ditempa menggunakan palu yang bobotnya bisa mencapai enam kilogram. Untuk mendapatkan bentuk yang sesuai, hal ini terus dilakukan berulang-ulang sehingga menghasilkan suara nyaring yang membentuk ritme.

 

Ketertarikan Ibnu Pratomo terhadap dunia penempaan dimulai sejak ia masih belia. Mengejar pedang katana Jepang sejak bayi, mengantongi golok saat di bangku SMP, mencari tahu tentang penempaan saat SMA, dan mulai mempelajarinya saat kuliah di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung sekitar tahun 1999.

Berkat dorongan dari salah satu profesornya, Ibnu akhirnya fokus mendalami penempaan, khususnya pembuatan keris saat kuliah S2 pada tahun 2004. Ia juga mengelilingi Jawa Tengah bahkan hingga Belgia untuk mempelajari penempaan. Karena baginya, jika bukan kita, siapa lagi yang akan melestarikan pusaka negeri ini?

Kecintaannya terhadap penempaan mendorong Ibnu bersama empat kawannya  menggagas komunitas menempa pada tahun 2011, hingga akhirnya melahirkan Pijar. Sejak awal berdiri, total anggota Pijar mencapai 50 orang. Namun, seiring berjalannya waktu para anggota silih datang dan pergi hingga menyisakan beberapa orang yang terus konsisten.

“Pijar hadir dalam rangka mengabdikan diri kita terhadap negeri,” ujar Ibnu.

Mempelajari mengenai kebudayaan dan penempaan pisau dan pusaka seperti keris dan kujang, Pijar mengembangkan pembuatan produk lain seperti aksesori pria. Produk hasil penempaan mereka pun dipasarkan dengan nama Saltig.

Produk terbaru yang fokus mereka kerjakan adalah pembuatan gelang berbahan kuningan dengan motif tradisional Mentawai. Pembuatan gelang tersebut bertujuan untuk memperkenalkan kekayaan budaya kepada generasi muda. Ibnu berharap, pemakai gelang tersebut bangga akan kekayaan budaya Indonesia melalui produknya.

“Walaupun masuk ke dunia fashion, kita gak mau lepas dari budaya,” kata Ibnu.

Berbeda dengan pembuatan gelang yang dapat diproduksi dalam kurun waktu kurang dari satu pekan, pembuatan pisau dan pusaka membutuhkan waktu lebih lama. Bahkan, beberapa di antaranya memakan waktu berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Karena tentunya dibutuhkan teknik yang lebih beragam, dan proses yang lebih panjang. Terlebih untuk membuat pusaka, dilakukan prosesi upacara terlebih dahulu.

Bahan yang digunakan untuk membuat pusaka adalah berbagai macam logam yaitu baja, besi, dan nikel. Kemudian berbagai logam tersebut dipanaskan dan ditempa menjadi satu menjadi pamor yang memiliki tektur seperti urat. Pamor kemudian dipanaskan di tungku dengan suhu 1.000-2.500 derajat dan ditempa berulang kali, hingga menghasilkan bentuk yang diinginkan.

Untuk mendapatkan detil pada bilah dilakukan pengikiran dan pengukiran secara manual. Cara tersebut juga digunakan untuk pembuatan handle dan sarung yang dibuat dari berbagai bahan seperti kayu dan gading.

Desain dan berbagai detil dari produk yang dibuat biasanya berasal dari permintaan pembeli. Menurut Ibnu, produk yang dibuat di Pijar dan Saltig bersifat personal dan memiliki nilai kebanggaan tersendiri bagi pemiliknya.

Mayoritas pembeli berasal dari kalangan yang memang memahami dunia pisau dan pusaka. Mereka juga biasanya menjadikan produk tersebut sebagai koleksi. Sayangnya, di Indonesia sendiri penghargaan terhadap pisau tempa masih dinilai kurang bila dibandingkan dengan di luar negeri. Bahkan, mayoritas masyarakat masih lebih menghargai produk buatan pabrik.

“Desain itu kan menggunakan pikiran dan waktu. Artinya kan gak gratis ya. Permasalahnnya di Indonesia ini, yang notabene belum terdidik dengan baik masyarakatnya, belum bisa menghargai itu. Mereka lebih bisa menghargai pabrikan. Lucu kan?,” ujar Ibnu.

Pembuatan produk biasanya dilakukan di dua tempat yang letaknya berdekatan. Berlokasi di Jalan Salatiga 36, Antapani, Bandung, yang juga kediaman Ibnu, terdapat gosali atau tempat penempaan tradisional. Sedangkan di Jalan Kudus 34, merupakan workspace khusus dan disimpannya berbagai produk karya Pijar dan Saltig.

Di sana, Pijar tidak hanya mendalami pembuatannya, tetapi juga mengupas berbagai kebudayaan yang menjadi mitos bagi mayoritas masyarakat. Seperti makna dibalik prosesi upacara dalam pembuatan pusaka, yang ternyata mempunyai nilai filosofis yang tinggi, bukan sekadar mitos. Di antaranya adalah kelapa dalam sesajen yang menggambarkan manusia yang terdiri dari raga yang kuat dan rasa yang lembut.

Pijar  diambil dari salah satu teknik yang ada di penempaan, yang menyatukan berbagai logam hingga membentuk sifat yang baru. Filosofi itu diambil karena menurut Ibnu, mereka menyadari setiap orang mempunyai sifat yang berbeda-beda, dan harus disatukan.

Lebih dalam dari tujuan untuk mengedukasi dan melestarikan kekayaan budaya Indonesia, Pijar hadir untuk menempa generasi muda sebagai pusaka negeri yang sebenarnya. “Kita loh pusaka bangsa, makanya kita harus ditempa. Itu yang dikejar sama Pijar,” kata Ibnu.

Tulisan ini telah tayang lebih dulu di portal ANTARA Jabar

Pewarta: Risa RZ
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2018