Jakarta (ANTARA News) - Badan Narkotika Nasional (BNN) mengusulkan agar para bandar narkoba dimiskinkan dari harta kekayaannya agar memberikan efek jera yang efektif, sehingga upaya pemerintah dalam memerangi peredaran narkoba di Indonesia bisa berhasil.

"Hukuman mati yang sudah diterapkan pemerintah Indonesia belum cukup untuk menimbulkan efek jera bagi para bandar. Buktinya, banyak bandar yang melakukan transaksi narkoba di dalam lembaga pemasyarakatan," kata Kepala Sub Direktorat Penyidikan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Badan Narkotika Nasional (BNN), Andi Faisal, dalam diskusi akademik "Revisi UU Narkotika" di Universitas Moestopo, Jakarta Selatan, Selasa.

Ia mencontohkan, bandar narkoba di Medan, Toge alias Tugiman telah dua kali dijatuhi hukuman mati, namun malah melakukan transaksi narkoba di dalam lapas. Hingga saat ini, Tugiman belum dieksekusi.

Menurut Andi, saat ini ada satu instrumen hukum yang sangat ditakuti oleh para bandar dan pengedar narkoba, yakni dengan instrumen tindakan penegakkan hukum tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), dengan dimiskinkan.

"Para bandar narkoba lebih takut hartanya dirampas," ucapnya.

Andi menjelaskan, TPPU seharusnya bisa dijadikan pintu masuk utama dalam upaya pemberantasan narkotika di Indonesia. Dengan penegakkan hukum TPPU, semua aset pengedar narkotika dirampas oleh negara.

"Perlu didorong UU perampasan aset. Bisa dijadikan sarana utama memberantas narkotika. Melalui TPPU kita tetap harus bisa membuktikan. Bisa kita sita setelah melalui proses pembuktikan tanpa melalui pengadilan," jelasnya.

Ia menegaskan, pengungkapan bandar narkotika yang hanya menangkap kurir tidak akan terlalu berpengaruh kepada upaya pemerintah dalam memerangi peredaran narkotika.

"Seharusnya, orang-orang yang memiliki aset di luar kewajaran dan sudah dicurigai sebagai bandar utama bisa dikejar dan dilakukan penyitaan seluruh asetnya di Indonesia," tuturnya.

Oleh karena itu, untuk menerapkan TPPU kepada bandar narkoba, harus ada kebijakan yang mewajibkan penyidik untuk menerapkan pasal tersebut, termasuk berapa ketentuan berat narkoba minimal yang akan dikenakan pasal TPPU.

Di tempat yang sama, anggota Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni, mengatakan, saat ini DPR tengah mendorong dilakukannya revisi UU Narkotika karena semakin lama angka pengguna narkoba semakin besar.

"Revisi UU harus didukung pemerintah karena banyak kejadian yang akhirnya membingungkan," ucapnya.

Menurut politisi Partai NasDem ini, UU Narkotika yang berlaku saat ini tidak cukup memberi efek jera terhadap para pengedar dan pengguna, maka perlu tindakan yang lebih tegas dalam memberantas jaringan Narkoba.

Dalam laporan BNN, sepanjang tahun 2017 ada 46.537 kasus narkoba yang diungkap. Laporan pada tahun 2017 juga menyebutkan ada sekitar 58.365 orang yang dijadikan tersangka. Angka ini meningkat tajam 50 kali lipat lebih jika dibandingkan laporan periode 2016, yang menyebut ada 868 kasus dengan 1.330 orang tersangka.

Angka tersebut tidak akan berkurang jika pemerintah masih mengulur waktu untuk melakukan revisi UU Narkotika. Apalagi saat ini disinyalir masih ada serbuan narkotika yang masuk ke Indonesia di luar pengungkapan berton-ton sabu yang baru-baru ini dilakukan.

"Revisi UU tidak mudah yang dipikirkan karena perlu ada kesepakatan dengan seluruh pemangku kepentingan. Terlebih, saat ini akan memasuki tahun politik yang akan menghambat pembahasan revisi tersebut," ucap Sahroni.

Sementara itu, Sekjen Aliansi Relawan Perguruan Tinggi Anti Penyalahgunaan Narkoba (Artipena) Muhammad Farid, mengingatkan, peredaran narkotika di Indonesia sudah lama menyasar ke generasi muda, terutama kalangan pelajar dan mahasiswa.

"Upaya peredaran narkotika di lingkungan kampus patut diwaspadai. Banyak yang terlibat karena salah pergaulan. Apalagi kampus-kampus belum punya SOP penanganan narkoba," kata Farid.

Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2018