Jarum jam sudah menunjukkan pukul 24.00 WIT, tapi ribuan warga yang memadati Pantai Wai Ipa, Kota Sanana, Ibu Kota Kabupaten Kepulauan Sula, Maluku Utara, belum memperlihatkan tanda-tanda akan membubarkan diri.

Mereka tampak masih larut dalam irama musik dangdut mengikuti goyang penyanyi kelompok 3 Serigala yang khusus didatangkan dari Jakarta.

Warga Kota Sanana dan sekitarnya tampak sangat menikmati hiburan yang disuguhkan dalam rangkaian Festival Maksaira itu. Hampir separuh warga kota Sanana tampaknya tumpah ke pantai untuk menyaksikan hiburan yang jarang mereka nikmati.

Kelompok 3 Serigala yang merupakan pecahan dari Trio Macan dan terdiri atas Lia, Angel dan Dian tersebut tampaknya memahami betul bagaimana menghibur warga yang sebagian besar mempunyai mata pencarian sebagai nelayan dan petani.

Mereka didampingi oleh artis ibu kota lainnya Selfi Nafilah jebolan KDI, serta artis lokal yang sedang digandrungi, yaitu Briptu Fahrin Ilham Silayar.

Di ujung lainnya, tidak jauh dari panggung tempat 3 Serigala beraksi, juga terdengar suara musik yang tidak kalah meriah dan berasal dari sebuah kafe dengan penyanyi lokal.

Meski mengandalkan penyanyi lokal dengan kapasitas pengunjung terbatas, kafe tersebut mampu menghibur penonton yang memiliki selera berbeda dengan musik campuran mulai dari dangdut sampai pop barat.

"Perang musik" pun akhirnya tidak dapat dihindarkan meski yang paling dominan adalah suara musik dari panggung 3 Serigala karena dilengkapi sound system lebih canggih.

Hiburan musik yang juga dihadiri Bupati Kepulauan Sula Hendrata Thes tersebut merupakan penutup dari rangkaian kegiatan Festival Maksaira 2018 dengan agenda utama pemecahan Rekor MURI untuk kategori jumlah ikan hasil pancingan terbanyak khusus untuk jenis ikan kerapu.

Malam itu juga diserahkan hadiah kepada tiga pemenang utama peserta memancing, yaitu tiga buah kapal jenis fiber lengkap dengan mesinnya dengan jumlah total sekitar Rp150 juta.

Data dari panitia festival, tercatat 713 sampan, 125 ketinting, 79 long boat, 248 kapal fiber, serta 12 kapal mesin ukuran lebih besar (kapal job) yang digunakan 3.041 peserta yang berasal dari 47 desa.

Lokasi pemancingan membentang antara pantai Wai Ipa hingga Kampung Baju sepanjang 20km.

Karena rekor MURI kategori lomba memancing dengan peserta terbanyak ternyata sudah dipegang oleh daerah lain, panitia pun akhirnya mengubah kategori rekor menjadi jumlah ikan kerapu hasil pancingan terbanyak yang mencapai sekitar 1.500-an ekor.

Secara filosofis, Maksaira dalam pengertian lokal mempunyai makna sebagai pertemuan para tokoh adat yang melaksanakan musyawarah untuk mencapai suatu mufakat dalam menggagas persatuan dalam pembangunan dan mencerminkan semangat gotong- royong.

Maksaira merupakan budaya masyarakat Sula yang berasal dari kehidupan masa lalu para leluhur yang sudah menjadi tradisi dalam menggagas konsep pembangunan di Kepulauan Sula.

Maksaira juga merupakan penyampaian aspirasi masyarakat yang diwakili oleh tokoh adat dari masing-masing keterwakilan, serta sebagai wadah pemersatu bagi seluruh masyarakat Sula.

"surga tersembunyi" di timur Pulau Mangoli, Kepulauan Sula Maluku Utara yang belum banyak diketahui wisatawan. (ANTARA / Atman Ahdiat)


Membuka Isolasi
Tidak bisa dipungkiri bahwa tidak banyak masyarakat Indonesia yang mengetahui keberadaan Kabupaten kepulauan Sula yang merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten induknya Halmahera sejak 2003.

Bahkan hampir seluruh dari sekitar 10 awak media nasional yang diundang oleh Pemda Kabupaten Kepulauan Sula untuk meliput Festival Maksaira 2018, belum pernah mendengar daerah itu sebelumnya.

Keberadaan Kepulauan Sula memang belum populer dibanding daerah lainnya di Maluku Utara seperti Ternate, Tidore dan Morotai.

Seperti yang diakui Bupati Hendrata Thes, tujuan utama menggelar Festival Maksaira yang menelan biaya sebesar Rp2,7 miliar tersebut adalah untuk membuka mata Pemerintah Propinsi Maluku Utara maupun Pemerintah Pusat terhadap keberadaan Kepulauan Sula yang termasuk dalam kategori daerah 3T (tertinggal, terbelakang dan terdepan).

"Sula adalah bagian dari Indonesia yang perlu diperhatikan. Letaknya sebenarnya strategis, tetapi banyak hal yang terabaikan. Oleh karena itu, kami harapkan ke depannya Indonesia terkoneksi lebih baik lagi," kata pria kelahiran Sula 20 Mei 1973 itu.

Tidak ada upaya lain selain meningkatkan infrastruktur berupa transportasi laut maupun udara untuk membuka isolasi kabupaten yang memiliki luas 14.500 km?,yang 60 persen di antaranya berupa laut.

Kondisi saat ini, terdapat jalur laut dari Ternate yang memerlukan 14-16 jam, atau dari Ambon yang memakan waktu tempuh sedikit lebih cepat, sekitar 12 jam.

Sementara transportasi udara dari Bandara Sultan Babullah Ternate atau Bandara Pattimura Ambon hanya tersedia maskapai Susi Air setiap Selasa dan Kamis dengan masing-masing waktu tempuh sekitar satu setengah jam.

Kendala transportasi inilah yang membuat Kepulauan Sula sulit keluar dari kondisi terisolasi sehingga belum menjadi pilihan wisatawan, baik domestik apalagi mancanegara.

Kondisi Bandara Emalamo di Ibukota Sanana yang hanya memiliki landasan pacu sejauh 1.100 meter, juga menjadi salah satu kendala karena hanya bisa didarati pesawat perintis jenis caravan berpenumpang 12 orang.

Padahal ongkos transportasi udara dari Ternate atau pun Ambon hanya sekitar Rp300-an ribu/ orang itu berkat adanya subsidi dari pemerintah, sehingga jauh lebih murah dibanding transportasi laut sekitar Rp600-an ribu.
Salah satu pemandangan di kawasan Kepulauan Sula Maluku Utara. (ANTARA / Atman Ahdiat)


Sebagai daerah kepulauan, wisata bahari tetap menjadi andalan untuk menarik wisatawan untuk beraktivitas memancing, snorkeling, diving, atau sekedar bersantai di pasir yang putih bersih. Bahkan salah satu gugusan kepulauan kecil di timur Pulau Mangoli dengan waktu tempuh satu setengah jam dari dermaga Sanana, memiliki karakter yang sangat mirip dengan kawasan Raja Ampat dan masih belum tersentuh sama sekali.

Satu lagi potensi wisata minat khusus yang akan digarap dalam waktu dekat adalah atraksi berburu babi hutan yang menurut rencana digelar pada September mendatang.

Kepulauan Sula memang memiliki populasi babi hutan yang sangat banyak dan populasinya bahkan diyakini melebihi jumlah penduduk yang lebih dari 130.000 orang.

Tidak mengherankan jika sekelompok babi yang mencari sisa makanan di halaman rumah penduduk adalah pemandangan yang bisa ditemui dalam kehidupan sehari-hari.
 

Pewarta: Atman Ahdiat
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2018