Jakarta (ANTARA News) - Bergelimang potensi namun belum seluruhnya tergarap boleh jadi sudah menjadi "parikan" yang biasa bagi bangsa Indonesia.

Maka kemudian, masyarakat di Tanah Air kian terbiasa hidup dalam suasana yang serba terbatas akibat belum optimalnya pemanfaatan sumber daya alam sekaligus belum tersedianya fasilitas infrastruktur yang memadai.

Kini, ketika hadir pemimpin yang menggempur Indonesia dengan beragam program dan kebijakan yang bagi sebagian orang dianggap terlampau ambisius, keengganan untuk memahami persoalan pun timbul.

Jokowi sejak menjabat sebagai Presiden RI pada 2014 memang menawarkan banyak hal khususnya terkait infrastruktrur dan kemudahan bagi rakyat kecil.

Bersamaan dengan berakhirnya masa tugasnya pada 2019 misalnya, Presiden Joko Widodo menjanjikan sebanyak 914 proyek dan 9 program akan rampung.

Reforma agraria menjadi satu dari sekian banyak hal yang dijanjikan akan dirampungkannya.
 
Presiden Joko Widodo (kiri) bersama Menteri BUMN Rini Soemarno (keempat kiri) dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar (kedua kiri) berdialog dengan petani saat panen raya jagung di Perhutanan Sosial, Ngimbang, Tuban, Jawa Timur, Jumat (9/3/2018). Jagung yang dipanen raya tersebut merupakan hasil budi daya pertanian oleh petani penggarap hutan penerima KUR dari BNI. (ANTARA /Zabur Karuru)


Tak pelak program itu pun menuai euforia berkepanjangan dari kalangan masyarakat. Dari sana emosi kebahagiaan, kegembiraan, dan rasa kepuasan yang luar biasa dari masyarakat diharapkan tumbuh setelah puluhan tahun lamanya terpasung kesulitan mengurus persoalan tanah.

Namun enigma alias teka-teki yang mengundang ketidakpahaman kemudian muncul di sana-sani. Persepsi yang berbeda pun memancing persoalan yang sama menjadi kontroversi yang tak kunjung berhenti.

Tokoh politik Amien Rais misalnya yang terang-terangan mengkritik langkah Presiden Joko Widodo dalam membagi-bagikan sertifikat tanah kepada masyarakat. Menurut Amien, program tersebut merupakan suatu pembohongan.

Ia justru mempertanyakan manakala Presiden sedang membagi-bagikan sertifikat tanah tapi di sisi lain sebanyak 74 persen lahan negeri ini dikuasai kelompok tertentu.

Baca juga: Ini kunci keberhasilan reformasi agraria


Persepsi keliru

Bukan semata Amien, Direktur Eksekutif Perhimpunan Advokat Pro Demokrasi (PAPD), Agus Rihat juga menilai Joko Widodo selama ini bukan membagi-bagikan sertifikat tanah kepada petani kecil di Indonesia.

Menurut Agus yang dibagikan Jokowi hanyalah surat izin pemanfaatan lahan hingga dari situlah ia kemudian menilai pemerintah telah melakukan kebohongan.

Namun sejatinya, mereka yang menuduhkan hal itu mestinya harus terjun secara langsung saat Jokowi turun ke lapangan.

Sebab untuk memahami persoalan, seseorang harus paham betul sesuatu yang sedang dihadapinya.
 
Presiden Joko Widodo menyerahkan sertifikat hak atas tanah kepada masyarakat di kabupaten paling ujung NKRI yang terletak di pulau paling selatan Indonesia, yakni di Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur (NTT),Selasa (9/1/2018). (Foto: Biro Pers Setpres)


Dalam berbagai kesempatan saat kunjungan kerja ke daerah, Jokowi memang membagikan sertifikat hak milik kepada masyarakat yang sudah benar-benar memiliki lahan, namun terkendala berbagai hal untuk memiliki bukti kepemilikan sah yakni SHM.

Di sisi lain, ia juga memberikan izin pemanfaatan hutan sosial di sejumlah tempat tertentu. Dari dua fakta itu, mestinya dapat dipahami bahwa ada dua persoalan yang berbeda dalam kasus ini.

Sebagaimana disampaikan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan Djalil yang menjelaskan sertifikasi lahan dalam program reforma agraria berbeda dengan program perhutanan sosial dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Ketidakpahaman inilah yang kemudian menimbulkan enigma dalam program reforma agraria dan sertifikat tanah untuk rakyat yang dicanangkan Jokowi.

Maka Sofyan Djalil pun membantah tudingan kepada Presiden Joko Widodo yang dianggap melakukan kebohongan dengan memberikan izin pemanfaatan lahan alih-alih sertifikat tanah kepada petani.

Ada dua program dalam hal ini yakni program pertama sertifikasi yang dikelola oleh Kementerian ATR dan program perhutanan sosial oleh Kementerian LHK.

Dalam Program Reforma Agraria, Kementerian ATR menargetkan kepemilikan 126 juta sertifikat tanah oleh masyarakat, namun sejauh ini baru tercapai 51 juta sertifikat yang dimiliki masyarakat.

Sementara itu, dalam program perhutanan sosial yang tahun ini tengah difokuskan oleh Kementerian LHK, Sofyan menjelaskan memang tidak memberikan sertifikat, melainkan izin pemanfaatan lahan atau akses legal kepada rakyat untuk mengelola kawasan hutan.

Melalui perhutanan sosial, rakyat bisa mendapat akses untuk mengelola lahan dalam waktu 35 tahun dan bisa diperpanjang sampai 70 tahun.

Mantan Menko Perekonomian itu pun membantah terkait tudingan tanah di Indonesia 70 persen‎ dikuasai oleh pihak asing atau kelompok tertentu, seperti yang dilayangkan oleh Amien Rais.

Baca juga: Presiden serahkan 3.331 sertifikat tanah di Jayapura


Tak Berhenti
 
Antrean warga memadati ruas jalan saat menghadiri penyerahan sertifikat tanah oleh Presiden Joko Widodo di Taman Lokasa, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, Selasa (16/1/2018). Presiden Joko Widodo, menyerahkan 5.447 sertifikat hak atas tanah milik warga yang berada di daerah Kabupaten Tasikmalaya, Kota Tasikmalaya, Ciamis, Banjar, dan Pangandaran, serta menargetkan tujuh juta sertifikat tanah dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) pada tahun 2018. (ANTARA/Adeng Bustomi)


Jokowi mengaku tak akan berhenti mengkampanyekan dua program itu meskipun kontroversi terus muncul di tengah euforia dan enigma.

Mantan Gubernur DKI itu bahkan memastikan bahwa program sertifikasi lahan adalah nyata untuk rakyat.

Ia keliling ke berbagai pelosok nusantara dan setiap kali berpidato meminta penerima sertifikat untuk mengangkat sertifikatnya tinggi-tinggi.

Di hadapannya pun menghampar ribuan buku SHM berwarna hijau muda menandakan bahwa rakyat telah benar-benar menerima sertifikat untuk lahan yang dimilikinya.

Hal serupa tak ia lakukan saat membagikan izin pemanfaatan hutan sosial kepada masyarakat. Sebab ia sungguh sadar bahwa ada dua hal yang berbeda dalam persoalan tersebut.

Sama-sama persoalan tanah dan lahan namun memiliki dua tujuan yang berbeda. 

Jokowi barangkali memang tak pernah ingin ada euforia yang berlebihan atas semua kebijakan dan langkah yang diambilnya.

Di sisi lain boleh jadi ia sedih ketika ada enigma dalam kebijakan yang ditempuhnya.

Maka mekanisme tabayyun dan klarifikasi untuk mencari kejelasan dan pemahaman yang mendalam atas sebuah persoalan perlu dilakukan alih-alih langsung menuduh dan menghujat langkah seorang pemimpin.

Semua mestinya menyadari bahwa berpolitik harus mengedepankan etika berpikir yang logis bukan semata menjatuhkan yang lain demi sebuah citra diri yang baik hanya untuk diri sendiri.

Baca juga: Reforma Agraria mampu tekan konflik lahan

Editor: Monalisa
Copyright © ANTARA 2018