Jakarta (ANTARA News) - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menilai kebijakan menanggalkan skema kontrak bagi hasil "cost recovery" menjadi skema "gross split" lantaran sistem tersebut tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman terkini.

"Kenapa akhirnya Pemerintah menerapkan sistem gross split? Karena kultur cost recovery itu udah sangat ketinggalan," kata Jonan dalam informasi resmi dari Kementerian ESDM yang diterima Antara di Jakarta, Jumat.

Melalui pergeseran skema ini, Jonan menegaskan, akan membawa perubahan efisensi atas pengelolaan minyak dan gas di Indonesia. "Kultur gross split yang mendorong efisiensi ini harus jalan. Tidak bisa tidak," tegas Jonan.

Apabila hal ini tidak dijalankan, maka cepat atau lambat sebuah perusahaan kelak mengalami kemunduran. "Tidak ada satu organisasi pun di dunia yang bertahan kalau tidak efisien. Saya tidak pernah melihat," jelas Jonan.

Jonan mendorong transformasi kultur perusahaan migas seyogyanya dibangun dari bagian hulu terlebih dahulu, baru kemudian dilanjutkan di sisi hilir. "Apabila ini diterapkan, bakal menjadi lompatan besar bagi perusaahan hulu migas," pungkas Jonan.

Perlu diketahui, sistem cost recovery sudah diterapkan dalam dunia bisnis hulu migas sejak tahun 1960an. Namun cost recovery dinilai membebani uang rakyat melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Bahkan, pada tahun 2015 dan 2016, cost recovery lebih besar dari penerimaan migas bagian Pemerintah.

Demi menciptakan efisiensi, pada awal tahun 2017, sistem Kontrak Bagi Hasil Gross Split mulai menggantikan sistem PSC Cost Recovery.

Pewarta: Afut Syafril Nursyirwan
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018