... bebas visa, akan lebih memudahkan WNI yang ingin berkunjung ke Amerika Selatan, dan akan menyuburkan komunitas bisnis dan perdagangan antar-negara...
London (ANTARA News) - Amerika Selatan dalam beberapa tahun terakhir ini menjadi tujuan wisata "tidak biasa" bagi wisatawan Indonesia. Sebutlah kota suci Machu Picchu, air terjun Iguazu, Bariloche, Ushuaia, Villa la Angostura, gletser Perito Moreno, dan Buenos Aires, sebagai situr-situs wisata di Amerika Selatan yang instagrammable dan diimpikan banyak wisatawan Indonesia.

Akan tetapi, masih ada beberapa tantangan mendasar untuk wisatawan nusantara pergi ke tujuan-tujuan wisata "tidak biasa" itu. Di antara tantangan yang paling pokok adalah minim konektivitas antara Indonesia dan negara-negara di Amerika Selatan ditambah lagi harus mengurus visa kunjungan yang tidak gampang.

Tahun ini, Buenos Aires di Argentina dinobatkan sebagai tujuan wisata terbaik di Amerika Selatan jaringan tripexpert.com. "Disayangkan, untuk menuju kota itu tidak mudah untuk WNI," ujar Ivan Ronaldo, salah satu penggerak gerakan BebasVisaID, Minggu.

Padahal seluruh negara di bagian barat Amerika Selatan memberikan fasilitas bebas visa bagi turis Indonesia. Kolombia, Ekuador, Peru, dan Chile serta Guyana, dan Suriname memberikan fasilitas visa-saat-ketibaan (visa on arrival) untuk WNI. "Sementara itu Argentina, Brazil, Trinidad & Tobago, dan Venezuela sampai hari ini belum memberikan bebas visa bagi WNI," ujarnya.

Untuk menuju Buenos Aires, harus terbang ke Dubai untuk melanjutkan koneksi penerbangan menuju kota San Pablo, lalu lanjut penerbangan ke Buenos Aires. Total perjalanan kurang lebih 30 sampai 40 jam, dan menghabiskan biaya mencapai 2.500 dolar Amerika Serikat per orang.

Wacana peningkatan hubungan antar-masyarakat tidak cukup hanya dengan meningkatkan konektivitas penerbangan. Tanpa fasilitas bebas visa, penerbangan yang lebih baik belum tentu laris-manis.

"Dengan bebas visa, akan lebih memudahkan WNI yang ingin berkunjung ke Amerika Selatan, dan akan menyuburkan komunitas bisnis dan perdagangan antar-negara," ujar Ronaldo.

Ia bilang, sempat berkomunikasi dengan Ketua Eksekutif Kamar Dagang Argentina di Australia, Diego Berazategui. "Saya menegaskan visa Argentina sementara ini termasuk salah satu yang sulit didapat. Ada beberapa netizen mengutarakan pengalaman mengurus visa Argentina. Kendati dokumen sudah lengkap, tapi bisa saja ditolak," kata dia.

Bila ingin menghubungkan Indonesia dan Argentina, tentu dimulai dengan menghapus kewajiban visa bagi WNI yang ingin ke Argentina sementara Indonesia membebaskan warga Argentina yang ingin berlibur ke Indonesia. "Siapa tahu, Argentina bisa menjadi pintu masuk Indonesia ke benua Amerika bagian selatan," ujar Ronaldo.

Apalagi saat ini, sedang digagas rute penerbangan 'antar kutub' menghubungkan Indonesia dengan Amerika Selatan melalui kota Perth, Australia. Garuda Indonesia saat ini terbang ke Perth lima kali sepekan.

Norwegian Airlines menggarap rute Buenos Aires-Perth. "Bisa jadi, 'mengawinkan' kedua rute penerbangan akan meningkatkan hubungan antar masyarakat dan bisnis antara Indonesia dan Amerika Selatan pada umumnya, dan Argentina pada khususnya," kata dia.

Hubungan bilateral antara Indonesia dan Argentina dimulai pada 1956, saat kedua negara membuka hubungan diplomatik. Saat ini, kedua negara adalah anggota G77, G20, dan Forum Kerja Sama Asia Timur-Amerika Latin (FEALAC).

Berdasarkan Kementerian Luar Negeri Indonesia, pada 2016 tercatat 8,408 wisatawan Argentina yang berlibur ke Indonesia. Pada tahun yang sama wisatawan Indonesia yang berkunjung ke Argentina tidak lebih dari 1,000 orang.

Pemerintah Indonesia secara resmi memberlakukan bebas visa kepada WN Argentina yang ingin berkunjung ke Indonesia sejak 2016. Bahkan sebelum 2016, fasilitas visa-saat-kedatangan tersedia seharga 35 dolar Amerika Serikat, untuk kunjungan 30 hari.

Berazategui memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai wacana rute Indonesia-Australia-Argentina saat berjumpa Konsulat Jenderal Indonesia di Perth, Dewi Tobing, yang mendiskusikan wacana rute penerbangan antar-kutub Indonesia-Argentina.

Penerbangan Buenos Aires-Perth akan lebih efektif untuk mendistribusikan turis Argentina menuju negara Asia. Ada sekitar 50.000 turis Argentina yang berwisata ke Asia Tenggara via Eropa atau Dubai. Dengan rute penerbangan ini, akan dapat menghemat waktu penerbangan sampai 10 jam.

Dengan Perth sebagai kota transit, Indonesia bisa jadi dipandang sebagai tujuan pertama mereka di Asia Tenggara. Turis Argentina bisa pula berlibur terlebih dahulu di kota Perth, sebelum melanjutkan penerbangan ke Bali lalu ke negara lain Asia Tenggara.

Akan lebih banyak lagi turis Argentina yang berkunjung ke Indonesia, apalagi selama ini rute penerbangan dari Argentina ke Asia Tenggara didominasi oleh rute Dubai-Thailand-Vietnam. Ini bisa jadi kontribusi positif terhadap industri pariwisata Indonesia.

"Kami ingin meningkatkan jumlah kunjungan turis Argentina ke Indonesia, dari 8.000 pada 2016 menjadi berlipat kali ganda. Kami juga berharap akan ada 10.000 turis Indonesia ke Argentina setiap tahun," jelas Berazategui.

Kamar Dagang Argentina di Australia juga mendekati Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Pariwisata Argentina perihal isu bebas visa bagi Indonesia. "Dalam pandangan kami, ini (bebas visa) adalah hal penting dan sangat diperlukan untuk meningkatkan efektivitas rute penerbangan antar-kutub ini," ujarnya.

Buenos Aires bisa dibilang adalah salah satu kota yang cukup terhubung dengan seantero Amerika Selatan. Berlibur ke Amerika Selatan bisa jadi akan lebih mudah di saat yang akan datang.

Salah satu keuntungan dalam bidang pariwisata bagi Argentina dan Indonesia dengan adanya penerbangan antar-kutub ini adalah berkurangnya jam dan biaya penerbangan.

Penerbangan 20 jam dengan rute Jakarta-Perth-Buenos Aires bisa jadi akan membuka kesempatan baru bagi para pegiat industri sajian masakan, olahraga, budaya, dan hiburan. "Siapa tahu ada WNI yang berminat belajar bahasa Spanyol di Argentina atau sekedar kursus sepakbola di Boca Junior," demikian Berazategui.

Pewarta: Zeynita Gibbons
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2018