Jakarta (ANTARA News) - Penasihat hukum mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung, Yusril Ihza Mahendra mengatakan kliennya hanya memberikan masukan kepada atasannya yaitu Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) saat itu Dorodjatun Kuntjoro-Jakti.

"Karena sifatnya itu adalah masukan dari bawahan kepada atasan. Kalau masukan dari bawahan kepada atasan itu kemudian dilaksanakan oleh atasan, apakah bawahan yang mengusulkan itu dapat dipersalahkan atau tidak dari segi pidana? Pertama-atama tentu harus dilihat dari segi administrasi negaranya," kata Yusril di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.

Dalam perkara ini, Syafruddin bersama-sama dengan Ketua KKSK Dorojatun Kuntjoro-Jakti dan pemilik Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim serta Itjih S Nursalim telah menyebabkan kerugian negara sejumlah Rp4,58 triliun.

"Dari seluruh dakwaan ini, peran Pak Syafruddin ini mengusulkan kepada Dorojatun dan Dorojatun melaksanakan lalu kemudian dipersalahkan. Itu saya kira harus didalami lebih jauh. Nanti akan dihadirkan ahli-ahli administrasi negara dan ahli pidana. Sejauh mana pertanggungjawaban pidana dalam kasus-kasus seperti ini," tambahnya.

Menurut Yusril, sebagai Kepala BPPN, Syafruddin melaksanakan apa yang menjadi keputusan KKSK, meski bisa mengusulkan sesuatu kepada KKSK.

"Sebagai yang melaksanakan kan mestinya dia tidak bisa dituntut. Apalagi kerugian negaranya itu terjadi ketika piutang itu dijual dan di sini memang masih ada yang akan diungkapkan di fakta-fakta persidangan yah antara `hardcopy` dan `softcopy` kelihatannya agak berbeda," ungkapnya.

Yusril menjelaskan dalam surat yang ditandatangani oleh Syafurddin ada tagihan BPPN kepada BDNI yang memberikan pinjaman kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM) milik Syamsul Nursalim.

"Ada Rp4,8 triliun tapi di dalam `softcopy` dalam `bunisys system` (sistem pembayaran utang) hanya disebutkan Rp1,3 trilun. Dalam dakwaan yang dipakai tentu yang ada di dalam `bunisys` itu. Nah ini pun harus dijelaskan nanti oleh ahli. KPK tentu akan pakai yang beratkan," ungkap Yusril.

Bila pada 2017 pemerintah memakai pencatatan "bunisys system" menurut Yusril bukan kesalahan Syafruddin.

"Karena yang dihitung hanya Rp1,3 triliun lantas kemudian dijual Rp220 miliar oleh PPA (Perusahaan Pengelola Aset) dengan persetujuan menteri keuangan pada waktu itu, jadi yang menjualkan bukan pak Syafruddin tapi PPA. Kalau tidak dijual yah tidak akan ada kerugian apa-apa," tambah Yusril.

Nota keberatan (ekspesi) akan disampaikan pada sidang pekan depan yaitu 21 Mei 2018.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018