... kriminal biasa sudah lengkap diatur dalam satu buku KUHP. Ini khan spesifik teroris, tentu ada kekhasan. Apa itu teroris? Teroris di seluruh dunia, mana sich (teror) yang tidak ada tujuan politiknya? (Di) Boston, Suriah, Sri Lanka, dan Inggris s
Jakarta (ANTARA News) - Ketua Panitia Khusus revisi UU Nomor 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, M Syafi'i, menginginkan definisi terorisme masuk dalam norma UU itu, bukan dimasukkan dalam penjelasan umum.

"Kalau saya, berkeinginan definisi terorisme masuk dalam norma atau batang tubuh UU. Saya dari awal menilai harus ada frasa tujuan politik, gangguan keamanan negara, konsep yang diajukan kepala Kepolisian Indonesia, diajukan panglima TNI dan menteri pertahanan," kata Syafi'i, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat.

Dia mengatakan Panitia Khusus akan membicarakan dengan fraksi-fraksi terkait definisi terorisme, apakah dimasukkan dalam norma atau penjelasan umum.

Menurut dia, kalau tanpa ada definisi tujuan politik dan ancaman keamanan negara, apa bedanya teror dengan tindak kriminal biasa.

"Tindak kriminal biasa sudah lengkap diatur dalam satu buku KUHP. Ini khan spesifik teroris, tentu ada kekhasan. Apa itu teroris? Teroris di seluruh dunia, mana sich (teror) yang tidak ada tujuan politiknya? (Di) Boston, Suriah, Sri Lanka, dan Inggris semuanya memiliki tujuan politik," ujarnya.

Syafi'i menilai kewenangan aparat penegak hukum dalam melakukan penindakan harus memiliki payung hukum yang jelas sehingga definisi yang jelas dan rinci sangat berperan penting agar aparat penegak hukum dalam melakukan penindakan.

Syafi'i mengatakan, Panitia Khusus akan memulai kembali rapat dan telah menjadwalkan pada Rabu (23/5), dan hanya tinggal membicarakan satu poin yang belum disepakati, yaitu definisi terorisme.

"Pemerintah meminta tunda waktu untuk merevisi kembali redaksi yang pernah mereka ajukan. Nanti kalau mereka presentasi, kami anggap itu sudah memenuhi, disepakati tentang logika hukum definisi teroris, ya sudah ketok," katanya.

Pada sisi lain, sinyal keras dari Istana Merdeka soal penabalan dan operasionalisasi Komando Operasi Khusus Gabungan TNI semakin nyata. Adalah Kepala Staf Kepresidenan, Jenderal TNI (Purnawirawan) Moeldoko, yang menyatakan ini secara terbuka kepada pers. 

Jauh sebelum Kepolisian Indonesia memiliki Detasemen Khusus 88 Antiteror, TNI (saat itu ABRI) sudah memiliki beberapa pasukan elit berkualifikasi anti teror, penggalangan, intelijen-kontra intelijen, peledakan dan penjinakan bahan peledak, dan banyak lagi kualifikasi elit-khusus lain. Mereka juga bisa melumpuhkan sasaran jika memang diperintahkan demikian. 

Mereka adalah Satuan 81 Penanggulangan Teror Komando Pasukan Khusus TNI AD, Detasemen Jalamangkara TNI AL (terdiri dari personel terbaik Komando Pasukan Katak TNI AL dan Batalion Intai Amfibi Korps Marinir TNI AL), dan Detasemen B-90 Bravo Korps Pasukan Khas TNI AU. 

Ketiga pasukan elit ketiga matra TNI inilah yang kemudian akan dilebur pada aspek operasionalisasi menghadapi teror ke dalam Komando Operasi Khusus Gabungan TNI, yang markas konsinyiringnya ada di Sentul, Jawa Barat. 

Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2018