Jakarta (ANTARA News) - Manakala memasuki bulan Mei setiap tahunnya, semangat reformasi kembali bergaung lantang seakan mengingatkan semua bahwa "perjuangan" masih akan terus berlanjut.

Rakyat masih menyelipkan harapan tertingginya untuk sebuah kesejahteraan yang adil dan merata dengan reformasi sebagai titik baliknya.

Dua dekade setelahnya kini, Presiden Joko Widodo diklaim sejumlah pihak sudah pada jalur yang benar dalam hal memperbaiki inefisiensi dalam bidang ekonomi.

Namun beberapa kalangan yang lain menilai upaya pemberdayaan dan perbaikan sektor ekonomi yang dilakukan Presiden Jokowi jika dinilai numerik masih berkisar 7,5 nilainya atau B minus bahkan C minus untuk beberapa kebijakan lain.

Yang artinya Indonesia belum mencapai kedaulatan ekonomi seperti yang dicita-citakan 20 tahun silam.

Presiden Jokowi memang sudah menerapkan beragam upaya kebijakan untuk mereformasi birokrasi termasuk menerbitkan beragam paket kebijakan sebagai bentuk pemberdayaan ekonomi.

Keinginan Presiden untuk mendongkrak tingkat kemudahan berinvestasi atau ease of doing business bahkan sudah menempatkan Indonesia sebagai negara layak investasi versi berbagai lembaga pemeringkat internasional.

Presiden Jokowi dalam banyak kesempatan juga selalu menegaskan sejak awal ia menjabat, dirinya tak khawatir untuk menerapkan kebijakan tidak populer bahkan reformasi radikal dengan misalnya mencabut subsidi BBM jenis premium untuk dialihkan ke kebijakan berpihak pada rakyat yang lain khususnya pendidikan dan kesehatan.

Sayangnya pada praktiknya, masih sering pernyataan reformis Presiden yang terbuka terhadap investasi belum berhasil diterjemahkan dalam kebijakan yang ramah investasi.

Faktanya masih terjadi ketidaksinambungan antara kebijakan di tingkat pusat dengan implementasi di tingkat daerah.

Seperti sekadar iklan yang manis bagi investor ketika membaca advertorial begitu mempesona kenyataannya masih ada perizinan yang berbelit, dan memakan waktu, serta biaya yang tinggi.

Investasi

Tak dapat dipungkiri bahwa begitu tampak keinginan dari Presiden Jokowi untuk melakukan reformasi di bidang ekonomi sekaligus pemberdayaan masyarakat.

Beberapa program yang layak menjadi catatan di antaranya pengucuran dana desa yang bahkan diakui oleh lembaga PBB sebagai proyek pemberdayaan yang layak dicontoh.

Hal itu sekaligus menjadikan Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal danTransmigrasi Eko Putro Sandjojo mendapatkan pujian dari dua lembaga yakni International Fund for Agricultural Development (IFAD) yang berpusat di Roma, Italia, dan Food and Agriculture Organization (FAO) belum lama ini.

Di sisi lain, upaya pemberdayaan di masa Jokowi-JK juga semakin tampak manakala dikucurkan dana segar sebagai capital seeds untuk menumbuhkan wirausaha-wirausaha baru melalui program Wirausaha Pemula (WP) yang dikoordinatori oleh Menteri Koperasi dan UKM AAGN Puspayoga.

Hal inilah yang mendorong jumlah wirausaha di Tanah Air terdongkrak jumlahnya menjadi 3,1 persen dari total populasi penduduk yang didominasi oleh mayoritas anak muda.

Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Arif Budimanta mengakui berbagai upaya pemerintah yang menjadikan catatan kinerja ekonomi semakin baik dan dirasakan di level terbawah.

Sayangnya ada beberapa hal yang justru tidak diharapkan terjadi. Dari sisi investasi misalnya, tercatat realisasi investasi tumbuh di bawah target yang ditetapkan sebesar 1,97 persen dengan rata-rata per tahun (2012-2016) sebesar 1.417,58 miliar dolar AS.

Hal ini sangat disayangkan lantaran investasi merupakan salah satu kontributor terbesar terhadap pembentukan pertumbuhan ekonomi Indonesia, selain tingkat konsumsi masyarakat.

Di sisi lain, ketika ada upaya dari pemerintah untuk terus menekan tingkat pengangguran dan kemiskinan sejalan dengan meningkatnya angka harapan hidup masyarakat di Indonesia namun kemudian tercatat, tingkat pengangguran terbuka di Februari 2018 turun 5,13 persen atau berkurang 140 ribu orang. Kondisi itu dinilai menjadi yang terendah sejak 1998.

Pangan-energi

Sedari awal menjabat sebagai Presiden, Jokowi memiliki cita-cita untuk mengoptimalkan fokus pengembangan pangan, energi, dan kemaritiman yang terbungkus dalam visi nawacita.

Sayangnya, menurut Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) hal itu belum terwujud sepenuhnya dalam implementasi yang sistematis sehingga ekonomi Indonesia secara fundamental belum juga beranjak membaik setelah dua dekade reformasi berlalu.

Suroto bahkan menyesalkan reformasi yang ditandai krisis ekonomi kemudian meninggalkan beban fiskal yang berat karena utang yang besar sayangnya utang itu kini terus membengkak bukan menurun. Bahkan terus mendekati kuota larangan sebagaimana diatur regulasi.

Namun ia menyadari bahwa pemerintahan saat ini masih saja digelayuti beban masa lalu, tetapi ia menegaskan kepemimpinan yang ideal harus mampu mengatasi masalah jangka pendek di samping tetap harus mampu menghubungkan dengan visi jangka panjang.

Ia menyarankan untuk memperbaiki fundamental ekonomi maka harus diberikan insentif pada importasi barang modal yang didukung industri pangan dan energi lokal.

Dengan demikian perlahan importasi pangan akan tersubstitusi sehingga dalam jangka pendek dan kian membaik dalam jangka panjang.

Faktanya Indonesia masih dihantui praktik mafia impor pangan dan energi dengan belum terlibatnya keberanian pemimpin untuk memberantasnya.

Selain itu, ekonomi Indonesia juga cenderung masih terus mengandalkan komoditas ekstraktif yang harganya dikendalikan pasar global.

Industri pangan, energi, dan pariwisata yang memberikan pekerjaan lebih banyak untuk rakyat setiap tahunnya justru menurun kualitasnya.

Di sisi lain sektor pertanian juga tampak masih kedodoran untuk mewujudkan target swasembada pangan.

Maka dengan ekonomi yang tumbuh setiap tahun rata-rata 5 persen sudah dapat ditebak bahwa kinerjanya hanya ditopang oleh pilar konsumsi.

Sementara konsumsi importasi dan ditambah beban angsuran utang dan bunga yang besar memaksa anggaran untuk selalu berada dalam bayang-bayang defisit dua digit neraca perdagangan dan neraca pembayaran sekaligus.

Untuk itu Suroto menyarankan agar Pemerintah tetap fokus mengembangkan pangan dan energi karena memiliki dampak ikutan yang luas.

Dengan begitu maka amanat reformasi dua dekade silam dalam TAP MRP RI untuk melakanakan demokratisasi ekonomi tidak akan lagi tertinggal sebagai sekadar macan kertas.
 

Pewarta: Hanni Sofia
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2018