Jakarta (ANTARA News) - Jika berbicara tentang pergerakan reformasi, keberadaan mahasiswa adalah yang diingat sebagai pencetus lahirnya era kebebasan berpendapat tersebut.

Namun reformasi tidak hanya datang dari para mahasiswa, namun juga lahir dari gerakan perempuan. Sayangnya sampai saat ini narasi perempuan tentang perjuangannya menuntut reformasi hanya terdengar samar-samar.

Yuniyanti Chuzaifah, yang terlibat dalam beberapa gerakan perempuan pada masa itu mengatakan gerakan perempuan dalam perjuangan reformasi adalah untuk membangun budaya politik baru.

"Budaya politik yang berlandaskan etika kepedulian yang diwarnai empati, solidaritas dan memberi kesempatan tumbuh terhadap satu sama lainnya," kata perempuan yang biasa disapa Yuni itu.

Pendiri Koalisi Perempuan Indonesia itu mengatakan budaya politik yang ditumbuhkan gerakan perempuan itu untuk menciptakan demokrasi yang sejati dan bukan demokrasi yang otoriter dan fasis.

Menurut Yuni yang pernah meneliti tentang pemetaan organisasi perempuan pada masa Orde Baru mengatakan sejak Presiden Soeharto berkuasa tahun 1965 telah terjadi depolitisasi terhadap gerakan perempuan. Gerakan Perempuan hanya sebatas pada bidang sosial dan keagamaan.

Pada era 70-an mulai muncul organisasi perempuan skala kecil yang tersebar di seluruh Indonesia dan jumlahnya banyak, organisasi ini muncul dari kegelisahan melihat sesamanya yang tertindas.

"Gerakan massa saat reformasi itu adalah sesuatu yang tidak terjadi begitu saja, dalam konteks gerakan perempuan sebetulnya ini adalah jejak akumulasi yang panjang. Jadi ini gerakan ada dari melihat realita buruh gendong di Yogyakarta yang hidup dalam kemiskinan, kemudian bagaimana para TKW yang bekerja di luar negeri saat mereka mati dan negara tidak ada pertanggungjawaban," kata dia.

Selama itu para pendukung gerakan perempuan tersebut telah berupaya untuk berjuang, namun tidak ada perubahan, akhirnya mereka memiliki kesimpulan bahwa negara tidak mampu melindungi warga negaranya.

Pada krisis ekonomi 1996 hingga jatuhnya Orde Baru, perempuan bergerak, baik secara terorganisir maupun spontan untuk melawan kekerasan dan ketidakadilan serta membela sesamanya yang dijarah, diperkosa dan yang kehilangan anggota keluarganya dalam aksi kerusuhan 13-14 Mei 1998.

Salah satu gerakan yang lahir adalah `Suara Ibu Peduli` yang merupakan perkumpulan perempuan-perempuan pegiat dan akademisi. Mereka berkumpul sejak 1997 membahas tentang penyebaran aksi dan kesadaran antikekerasan terhadap perempuan.

Salah satu aktivis perempuan pada masa reformasi Gadis Arivia dalam tulisannya mengenai `Politik Representasi Suara Ibu Peduli` yang dimuat di Jurnal Perempuan menyebutkan dalam pertemuan `Suara Ibu Peduli` yang lahir di Yayasan Jurnal Perempuan, mereka kerap membicarakan tentang rencana demonstrasi untuk rezim Orde Baru.

Pada pertemuan itu dibahas strategi yang digunakan untuk melakukan demonstrasi, sebab saat itu melakukan demonstrasi adalah tindakan melawan hukum.

Mereka pun memilih menggunakan kata `Ibu` dalam gerakan tersebut, karena pada masa itu pemerintah cenderung bersimpati pada kegiatan `ibu-ibu`. Mereka juga memilih isu `susu` untuk berkamuflase dalam demonstrasi yang direncanakan karena saat itu susu untuk anak-anak mengalami kelangkaan dan harganya naik hingga 400 persen.

Pada 20 Februari 1998, `Suara Ibu Peduli` mulai menjual susu murah yang mereka peroleh langsung dari pabrik susu dengan harga negosiasi dan dari pengumpulan dana. Penjualan susu hari itu diminati oleh banyak orang. Selama penjualan susu mereka banyak mendengarkan keluhan warga tentang kesulitan ekonomi yang sedang dihadapi.

Pada 23 Februari 1998, setelah merencanakan semuanya dengan matang, para perempuan ini memberanikan diri untuk menggelar aksi di Bundaran Hotel Indonesia, memprotes `harga susu` yang kian melambung. Tak sampai 30 menit mereka pun diangkut oleh aparat dan ditahan satu malam karena dicurigai telah ditunggangi oleh kaum oposisi.

Isu susu yang mereka kemukakan saat itu sebenarnya menggambarkan bagaimana negara tidak mampu memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya, bahkan bayi pun tidak dapat mengakses susu.

Tidak hanya politik susu, mereka juga menggunakan politik bagi-bagi makanan untuk mendukung pergerakan mahasiswa dari 19 Mei hingga 23 Mei, sebanyak 70.576 nasi bungkus yang berasal dari warung padang di Jakarta mereka bagikan.


Perempuan untuk Korban 1998

Ketika berjatuhan korban pada kerusuhan Mei, seperti pembantaian, penculikan dan pemenjaraan aktivis muda, gerakan perempuan membentuk `crisis center` atau pusat krisis untuk pemulihan baik korban dan keluarga korban yang mengalami trauma dan ketakutan mendalam.

Pusat krisis juga dibentuk pada saat terjadi penyerangan seksual, penembakan, pembakaran selama 12-14 Mei 1998.

Yuni yang saat ini menjabat sebagai Komisioner Komnas Perempuan mengatakan saat itu gerakan perempuan melakukan pendataan terhadap korban kekerasan seksual, mereka membentuk Tim Relawan untuk Kemanusiaan divisi Perempuan.

"Pendataan itu bukan mengejar jumlah angka korban kekerasan seksual atau kekerasan lainnya, melainkan berupaya menciptakan etika kepedulian dalam gerakan reformasi, dalam solidaritas sosial. Sebab, gerakan perempuan menginginkan perubahan reformasi dan demokrasi dilambari oleh etika kepedulian, dan bukan egoisme kelompok, kebrutalan, kesewenangan, diskriminasi maupun penistaan terhadap perempuan, anak dan kelompok masyarakat lainnya," kata dia.

Setelah kerusuhan Mei 1998, gerakan perempuan berjuang untuk meminta pertanggungjawaban negara terhadap tindakan brutal selama kerusuhan tersebut.

Gerakan perempuan tersebut menyatakan tidak boleh ada kekerasan terhadap perempuan. Jika terjadi kekerasan terhadap seorang perempuan, maka kekerasan tersebut juga terjadi pada tubuh sesama mereka.

Saat itu mereka mengumpulkan 4.000 tanda tangan guna mendesak Presiden Habibie untuk meminta maaf kepada para korban dan publik atas kejadian kekerasan tersebut. Meski hingga 20 tahun peristiwa tersebut berlalu belum ada permintaan resmi dari pemerintah.

Desakan tersebut akhirnya membuat negara mengeluarkan keputusan pembentukan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).

Tak hanya itu, pada 22 Desember 1998 gerakan perempuan menyelenggarakan kongres di Yogyakarta yang memandatkan sebuah agenda afirmatif kuota 30 persen keterwakilan perempuan dalam lembaga politik formal.

Tentu saja gerakan afirmatif kuota 30 persen ini merupakan sarana untuk menciptakan habitus budaya politik baru yang berlandaskan etika kepedulian.

Kuota 30 persen itu dapat dinyatakan sebagai `menara gerakan` dan institusional budaya politik berlandaskan pada etika kepedulian untuk menyumbangkan bangunan demokrasi di Indonesia sejak 1998.


Perempuan Hari Ini

Usia reformasi Indonesia yang telah menginjak usia 20 tahun nyatanya belum berpengaruh banyak pada penanganan masalah perempuan di Indonesia.

Pimpinan Nasional Perempuan Mahardika Mutiara Ika Pratiwi menilai, hal ini terjadi karena meskipun sudah runtuh, politik orde baru masih bercokol kuat di Indonesia.

Dia mencontohkan, untuk kasus-kasus pemerkosaan dan kekerasan perempuan misalnya, pemerintah tidak pernah mengusut tuntas dan memasukkannya dalam pekerjaan rumah negara saat ini.

"Bagaimana memberikan ruang yang demokratis pada masa sekarang, infrastruktur Orde Baru masih belum runtuh," kata Ika.

Bercokolnya politik Orde Baru terutama dalam mengatasi masalah perempuan dikatakan Ika, terjadi karena sejak dulu memang tidak pernah ada penyelesaian yang terang akan kasus-kasus perempuan.

Untuk kasus Marsinah misalnya, sampai saat ini publik hanya disuguhkan hasil persidangan sandiwara tanpa menemukan siapa aktor intelektual di belakang kematian aktivis buruh yang ditemukan tewas 25 tahun silam itu.

Belum lagi kematian Marsinah yang hanya dipandang sebagai kasus kriminal biasa dan bukan tindak pelanggaran Hak Asasi Manusia.

"Politik Orde Baru juga menundukkan organisasi perempuan yang mana tingkatannya hanya sesuai dengan tingkat jabatan suaminya. Ini sangat drastis menurunkan kepemimpinan dan cita-cita pembebasan perempuan yang tentunya sudah kita dengar bahwa berdirinya Orde Baru ditandai dengan kekejian dan kekejaman terhadap gerakan perempuan," kata dia.

Selain itu, Ika juga menyoroti politik yang mengedepankan golongan dan Suku Agama Ras dan Antargolongan (SARA) yang masih subur dan cenderung tidak dihilangkan oleh pemerintah saat ini,

"Karena ini warisan Orba, mayoritas merepresi minoritas," ucap dia.

Meski demikian, Ika tak memungkiri kalau untuk generasi saat ini, reformasi juga memberi banyak dampak positif mengingat perannya sebagai perlawanan politik massa mengambang.

"Gerakan reformasi mampu menghancurkan politik massa mengambang yang menjadi struktur Orde Baru, sehingga saat ini kita memiliki kebebasan berorganisasi," kata dia.
 

Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018