Venesia (ANTARA News) - Indonesia melalui Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) bersama Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) berpartisipasi dalam pameran arsitektur dunia Venice Architecture Biennale 2018 dengan mengangkat tema Sunyata: The Poetics of Eamptiness.

Ketua Kurator, Ary Indrajanto dari Aboday, yang sekaligus menjadi penanggung jawab paviliun Indonesia pada ajang itu mengungkapkan, tema yang berarti keheningan itu terinspirasi dari fenomena yang banyak ditemukan di arsitektur Indonesia.

"Bahwa kita punya banyak sekali ruang-ruang kosong di dalam arsitektur Indonesia yang selama ini tidak pernah digali, tidak pernah dibicarakan," kata dia, di Venesia, Jumat.

Padahal, lanjutnya, di dalam arsitektur, ruang kosong itu memegang peranan yang sangat penting.

"Bukan hanya kosong, tapi sebetulnya dia tuh sebuah ruang yang aktif. Seperti angka nol, angka nol itu kan tidak kosong, angka nol itu punya fungsi. Nah, di arsitektur Indonesia itu juga demikian, mereka punya fungsi yang aktif," kata dia.

Ide itu kemudian dibuat abstraksi yang saat ini ditampilkan di Paviliun Indonesia untuk memampilkan ruang kosong itu dalam bentuk yang lebih netral, sesuai dengan tema besar VAB 2018 yaitu Free Space.

"Dan kami ingin membuat arsitektur itu tidak hanya melulu dicerna oleh pandangan mata, tapi juga bisa dirasakan dengan tubuh, dengan panca indra yang lain, dengan telinga, kemudian penciuman, peraba dan sebagainya," kata dia.

Sehingga, karya dia bersama lima orang kurator lain ini dibuat dengan sederhana, tanpa kolom, tanpa dinding, melainkan hamparan kertas putih yang kedua ujungnya ditarik dan bagian tengahnya mengikuti gravitasi.

Lubang besar berbentu elips di bagian tengah dan memungkinkan setiap pengunjung untuk berjalan melewatinya sesuai alur yang sudah diatur sedemikian rupa.

Sambil berjalan di tengah hamparan kertas, pengunjung bisa mendengarkan suara latar yang dibuat secara alami, seperti suara distorsi seorang yang menawarkan jamu, suara kegiatan di pasar, hingga suara orang merokok, yang membuat keheningan semakin terasa.

"Jadi ruang-ruang kosong di Indonesia yang ada di proyek-proyek yang kami teliti itu punya kualitas yang sama dengan yang kami tampilkan disini," pungkasnya.

Material
Ia dan tim yang mempersiapkan karya tersebut selama enam bulan, menggunakan kertas tyvek atau kertas yang dicampur dengan polypropilen sebagai material utama, yang didatangkan dari London.

Menurutnya, dengan kekuatan kertas yang tahan sobek, tahan air dan tahan api ini, karyanya hanya perlu dibersihkan dari debu secara rutin, mengingat pameran VAB digelar selama enam bulan, sejak 25 Mei - 26 November 2018.

"Walaupun bentuknya sangat besar, tapi ini beratnya tidak lebih dari 70 kilogram. Dan yang menarik, semuanya dikerjakan dengan tangan," ujar dia.

Untuk menyambung sekitar 16 kertas panjang itu dibutuhkan 9.600 jahitan tangan, yang dikerjakan tim selama 10 hari. Selain itu, dibutuhkan 150 kancing kertas untuk memastikan kestabilan kertas itu.

Walaupun sudah dibuat demikian, masih bisa dilihat ada beberapa bagian yang tidak nyambung dan kurang sempurna.

"Memang kami biarkan saja, karena itu kayak the beauty of imperfection sih. Jadi biarkan saja. Karena kalau kita memperbaiki semuanya itu jadi arsitektur lagi. Padahal kan idenya kita mau membebaskan arsitektur dari bentuk," papar Ary.

Menurut Ary, ide besar dari karyanya adalah Indonesia itu tidak hanya dikenal arsitekturnya dari ornamen dan ukiran, di mana hal-hal itu merupakan romantisme masa lalu.

Sehingga ia dan tim ingin menampilkan wajah baru arsitektur Indonesia yang kontennya bisa diperbincangkan dalam ranah filosofis, teori, yang pada akhirnya bisa memperkaya arsitektur Indonesia sendiri agar semakin maju di dunia internasional.

 

Pewarta: Sella Gareta
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2018