"Hal itu dilakukan bukan untuk mewujudkan sebuah blok Asia, karena kalau negara-negara Asia tumbuh maka nantinya akan berkontribusi juga ke pertumbuhan ekonomi dunia," kata Mari dalam diskusi di kantor Center for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta, Rabu.
Mantan menteri perdagangan itu mengatakan bahwa fenomena proteksionisme dan kemungkinan perang dagang tengah menjadi pembicaraan dewasa ini. Gejolak tersebut dinilai menganggu perdagangan dunia terutama yang melibatkan pasar negara-negara tradisional.
Baca juga: Tiongkok kaget AS plin plan soal konsensus dagang
Menghadapi situasi tersebut, Mari berpendapat negara-negara di Asia perlu untuk saling mengamankan diri dan memperkuat integrasi pasar antarnegara Asia.
Dengan tidak menutup pasar antarnegara di dalam Asia, lanjut dia, maka langkah tersebut akan membantu mengungguli kecenderungan proteksionisme mengingat 40 persen pertumbuhan ekonomi dunia disumbang oleh kawasan Asia.
"Kita tidak bisa melawan `gajah` yang bernama Amerika Serikat, yang bahkan bisa saja menghancurkan WTO. Apa yang bisa kita dilakukan? Kalau negara-negara di Asia terus berupaya untuk saling terbuka maka hal tersebut bisa menjadi bagian solusi untuk mengungguli kecenderungan perang dagang global," ujar Mari.
Baca juga: AS dikritik habis-habisan oleh G7
Pendekatan yang perlu dilakukan antara lain dengan meningkatkan integrasi ekonomi regional yang sudah berada di kawasan, misalnya ASEAN, RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership), dan CPTPP (The Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership).
Kepemimpinan bersama (shared leadership) dari Asia juga diperlukan untuk bisa berperan mengurangi gejolak perdagangan yang dirasakan saat ini.
"Indonesia harus mendorong dan mengambil kepemimpinan. Dan di sini pemimpinnya tidak bisa hanya China karena banyak yang akan protes," kata Mari.
Baca juga: Inggris ancam balas Amerika
Pewarta: Roberto Calvinantya Basuki
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2018
