Jakarta (ANTARA News) - Warganet terbagi menjadi dua kubu ketika penyanyi Via Vallen mengunggah tangkapan layar Instagram Story berisi pesan berbahasa Inggris dari seorang pesepakbola anonim di Indonesia yang membuat dia merasa dilecehkan secara verbal.

Ada yang memuji keberanian Via mengemukakan pelecehan yang di alami, termasuk aktris Hannah Al Rashid, yang berterimakasih pada Via yang bernyali untuk tidak menutup mulut di Instagram Story.

"Negara ini memang butuh lebih banyak perempuan yang berani speak up dan lawan pelecehan dalam segala bentuknya," tulis Hanna.

Ada pula yang menganggap tindakan sang penyanyi berlebihan, bahkan mengancam pekerjaan si pesepakbola yang mengirim kata-kata senonoh.

Mengapa masih ada orang yang menyalahkan korban pelecehan atas keberaniannya?

Maia Szalavits dalam artikel yang disiarkan Guardian mengutip hasil studi yang menunjukkan bahwa budaya menyalahkan korban bisa jadi merupakan efek samping dari keinginan manusia untuk keadilan. 

"Just-world bias", gagasan bahwa orang ingin percaya seseorang akan mengalami sesuatu akibat tindakannya sendiri sehingga mereka akan mencari pembenaran dengan menganggap korban punya andil atas hal yang menimpa mereka, terjadi karena otak manusia menginginkan kemampuan untuk memprediksi sesuatu, dan pada akhirnya orang cenderung menyalahkan korban ketimbang menolak pandangan bahwa kebaikan akan dibalas dan keburukan berujung hukuman.

"Ada keinginan besar pada orang-orang untuk berpikir hal baik terjadi pada orang baik dan di sini ada salah persepsi ketika hal sebaliknya terjadi: jika sesuatu yang buruk terjadi padamu, pasti kamu juga telah melakukan hal buruk sehingga itu menimpamu," kata profesor psikologi Sherry Hamby dari Universitas Sewanee.

Just-world

Pertama kali diformulasi oleh Melvin Lerner pada awal 1960-an, bias "just-world" bisa dilihat di banyak situasi di mana korban disalahkan atas apa yang terjadi pada mereka, apakah itu kekerasan, pelecehan seksual, kejahatan atau kemiskinan.

Eksperimen asli Lerner melibatkan sekelompok perempuan yang diminta untuk mengamati apa yang dianggap sebagai belajar dari hukuman.

Dalam eksperimen itu, ketika seorang pembelajar, sebenarnya seorang aktor, memberikan jawaban yang salah, dia akan mendapat kejutan listrik yang terlihat menyakitkan. Setelah itu, pengamat yang melihat dari monitor diminta menggambarkan apa yang mereka rasakan mengenai korban, dan bagaimana kesukaan dia atau nilai moralnya bagi dia.

Satu kelompok perempuan yang hanya melihat korban berulang kali mengalami kejutan cenderung merendahkannya. Namun kelompok lain, yang sebelumnya diberitahu bahwa sang aktor tidak benar-benar kesakitan, tidak menyalahkan korban.

Tapi dalam eksperimen lebih rumit di mana sebagian partisipan ditawari kesempatan untuk menyelamatkan korban dengan mengumpulkan suara demi menghentikan hukuman, bukan memberi uang bila korban menjawab dengan benar.

Kelompok kedua tidak diberi kesempatan, mereka cuma diminta melihat korban disetrum beberapa kali, tanpa solusi menyelamatkannya.

Setelah itu, mereka diminta memberi opini tentang korban. Hasilnya berbeda. Mereka yang diberi kesempatan untuk menegakkan keadilan berpendapat korban adalah orang baik. Tapi mereka yang hanya bisa menonton situasi itu justru merendahkan si korban, menganggapnya pantas mendapat hukuman.

Dengan kata lain, karena mereka tidak bisa menegakkan keadilan, mereka melindungi sudut pandang bahwa dunia itu adil dengan mempercayai bahwa si korban bukanlah orang baik. Jika korban pantas disetrum, mereka bisa meyakinkan diri, bahwa dunia masih adil.

Lerner menjelaskan hasil ini menunjukkan bahwa melihat orang tak bersalah terluka tanpa resolusi situasi telah mengusik pandangan pengamat mengenai dunia yang adil. Untuk mengurangi rasa ancaman itu, mereka menganggap si korban pantas mendapat hukuman itu. 

Beberapa hal lain dari eksperimennya menunjukkan bahwa ketika pelaku eksperimen terlihat semakin "tidak bersalah" dalam situasi yang tak terselesaikan, si korban justru semakin disalahkan. 

Keinginan universal

Keinginan untuk mendapat keadilan ini bersifat hampir universal di antara anak-anak di seluruh dunia, yang tahap perkembangannya bisa diprediksi. Hampir semua orang yang punya saudara atau lebih dari satu anak telah melihat perilaku seperti ini, meski ada beberapa perbedaan budaya.

"Ini tidak adil," ujar bocah tiga tahun yang mengambek karena melihat adik atau kakaknya punya mainan "lebih bagus". Perilaku ini muncul sejak dini. Awalnya, anak-anak hanya melihat ketidakadilan ketika mereka kena imbas. Pada usia delapan tahun, anak sudah cukup sensitif pada ketidakadilan yang terjadi pada orang lain, mereka bisa mulai mempertanyakan situasi orang lain, misalnya tunawisma.

Jadi mengapa manusia merasa harus melihat dunia itu adil, meski jelas itu tidak terjadi?

Itu terjadi sebagian karena fakta bahwa banyak dari ganjaran dalam hidup yang baru datang belakangan, kata Kees van de Bos dari Universitas Utrecht, yang mempelajari bagaimana level bias dan situasi berbeda mempengaruhi aksi menyalahkan korban.

Dia memberikan contoh tentang belajar giat demi mendapatkan pekerjaan bergaji tinggi. Jika dunia tidak adil dan tidak bisa diprediksi, menunda bersenang-senang untuk mengerjakan PR sedikit masuk akal. Memang, penelitian menunjukkan orang yang tumbuh dalam situasi kacau, meski rasional dalam perspektif mereka, cenderung tidak menunda gratifikasi.

"Kita ingin berpikir bahwa saat kita melakukan hal yang benar, semua akan baik-baik saja," kata Hamby. "Kita akan merasa terancam melihat orang lain tidak baik-baik saja, jadi kita mencari penjelasan mengapa hal itu takkan terjadi pada kita."

Studi lain menemukan bahwa mempercayai dunia itu adil berhubungan dengan kesehatan, hal yang tak mengejutkan, risiko depresi manusia lebih kecil jika percaya semua hal akan baik-baik saja, dan bila orang percaya masa depan akan bersahabat, orang cenderung menjaga diri lebih baik.

Sayangnya, ini menciptakan rasa ancaman ketika sesuatu yang tidak adil terjadi, dan ada kecenderungan untuk mencari penjelasan logis, seperti menyalahkan korban.

"Mengecilkan korban terjadi sebagai reaksi defensif melawan pandangan seseorang terhadap dunia yang tidak seusai harapan," kata Laura Niemi, mahasiswa postdoktoral psikologi di Universitas Duke, menjelaskan prosesnya biasanya berlangsung implisit.

Profesor Konseling Psikologi David B. Feldman dari Universitas Santa Clara mengatakan berdasarkan riset dari David Aderman, Sharon Brehm dan Lawrence Katz yang dikutip Psychology Today, kunci melawan tendensi menyalahkan korban ada pada empati.

Mereka mengulangi eksperimen Lerner, tapi mengubah sedikit instruksi untuk partisipan. Mereka tak hanya diminta untuk menonton korban disetrum, tapi diminta membayangkan apa yang mereka rasakan bila berada di posisi korban.

Perubahan sederhana ini cukup bisa mengeluarkan respons empati, mengeliminasi kecenderungan partisipan untuk menyalahkan korban. Ini bukan satu-satunya riset tentang kekuatan empati. 

Ada penelitian di mana mahasiswa diminta menyelesaikan serangkaian tes psikologi, salah satunya kadar empati. Hasilnya menunjukkan orang yang punya empati lebih besar cenderung memandang korban perkosaan dalam sudut pandang positif, sementara mereka yang tidak punya empati besar cenderung memandangnya dari sudut pandang negatif.

Jadi jika ada kejadian yang membuat kita berpikir apakah korban patut disalahkan atas tragedi yang menimpanya, coba tanyakan pada diri sendiri, apa yang akan saya rasakan bila berada di posisi korban? 

 

Pewarta: Nanien Yuniar
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2018