Hoaks, yang oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima dimaknai sebagai berita bohong, semakin sering diakrabi publik baik ketika disuarakan, ditulis maupun dipertontonkan lewat berbagai saluran media, khususnya yang berlangsung dalam ranah dunia maya.

Popularitas kosa kata itu kian melangit seiring dengan maraknya kampanye politik yang tak jarang dijalankan dengan kiat menghalalkan segala cara, dan difasilitasi oleh hadirnya beragam media sosial dengan jaringan virtual yang semakin menggurita dan mengglobal.

Globalisasi informasi dan menguatnya perseteruan ideologis, yang melibatkan sentimen primordial, yang berkelindan dengan pertarungan politik domestik, menjadikan volume hoaks melimpah ruah di ruang publik, yang sekaligus menjadi ruang privat setiap orang yang menggenggam gawai.

Interaksi produsen hoaks dan konsumennya dalam jagat maya, pada akhirnya lebih banyak melahirkan kegaduhan, kemurkaan, kebencian, sumpah-serapah, caci-maki yang saling bersahut-sahutan daripada memunculkan kedamaian dan saling merespek.

Hoaks bukanlah kebohongan itu sendiri tapi kabar bohong. Pemahaman ini harus dipegang teguh untuk tidak terpeleset dalam memaknainya. Artinya, kebohongan yang diberitakan, dilemparkan ke publik itulah hoaks.

Pada mulanya hoaks bisa diproduksi dengan hanya menggunakan medium bahasa, yang diucapkan maupun yang dituliskan. Di era multimedia, hoaks punya kemampuan mengelabui yang semakin tinggi. Itu sebabnya, slogan bahwa kabar dalam bentuk kata-kata tanpa disertai gambar adalah hoaks kian ditinggalkan orang.

Hoaks pun menjadi semakin sering didistribusikan dalam bentuk multimedia, pemanfaatan kekuatan kata-kata, gambar dan film. Di media sosial, salah satu hoaks skala global paling aktual adalah berupa video tentang jasad seseorang yang berwajah (mirip) Saddam Hussein, bekas penguasa Irak. Penjelasan verbalnya: pembongkaran jasad Saddam yang masih utuh tak membusuk meski sudah bertahun-tahun dikuburkan setelah digantung pengkhianat bangsanya.

Hoaks bisa diproduksi dengan memanipulasi fakta, sebagaimana pada kasus hoaks tentang Saddam di atas, bisa juga dengan memanipulasi bahasa, salah satu medium komunikasi paling purba dalam sejarah manusia.

Para penguasa tiranik, termasuk penguasa Orde Baru, memanipulasi bahasa dengan berbagai bentuk dan cara untuk menghadirkan fakta palsu, menyampaikan pesan sarat kebohongan, dengan menelurkan politik bahasa.

Buku Bahasa dan Kekuasaan dengan editor Yudi Latif (yang kini menjadi Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila) dan Idi Subandi Ibrahim merekam tentang bagaimana Orde Baru melanggengkan hegemoninya untuk tetap berkuasa dengan melahirkan kebijakan-kebijakan kebahasaan yang manipulatif. Eufemisme, yang mendistorsi fakta, bertebaran dalam ruang publik di era Orde Baru dan diproduksi oleh para politikus penguasa di masa itu.

Kini kekuasaan tiranik sudah terguling. Publik akan dengan cepat sadar dan kritis terhadap hoaks yang diproduksi dengan memanipulasi bahasa. Hanya hoaks yang diproduksi lewat manipulasi faktalah yang sering beredar di ruang publik.

Sebenarnya, hoaks bertebaran di segala zaman. Kabar bohong terjadi kapan saja, di mana saja. Problem dengan hoaks adalah reaksi yang muncul dari konsumen hoaks. Ketika publik bersikap dewasa dan tak mudah termakan oleh hoaks, kedamaian tetap terpelihara, kegaduhan tak muncul.

Publik bisa melatih diri menghadapi hoaks dengan kedewasaan sikap lewat pembiasaan diri membaca sastra atau karya fiksi yang sesungguhnya berisi realita yang diciptakan, atau fakta yang direkonstruksi dengan sentuhan fantasi sang pengarang.

Ketika seseorang memegang sebuah novel, memulai membaca di halaman pertama, kesadarannya sudah secara otomatis mafhum bahwa yang sedang dibaca adalah dunia fantasi. Sang pembaca pun siap disuguhi apa saja dan siap menyerap hikmah-hikmah yang melintas dari uraian kisah penuturan sang pengarang.

Membiasakan diri membaca sastra, apalagi dari jenis yang kaya akan satir dan humor, dapat membuat seseorang meningkatkan selera humornya saat menghadapi pembacaan teks. Pembaca semacam ini akan membukakan diri untuk tidak reaktif terprovokatif dalam menghadapi teks.

Kemampuan menahan diri untuk tidak tergesa-gesa reaksioner, apalagi dalam bentuk emosi negatif berupa kemarahan, cepat tersinggung, merasa ternista bisa diraih lewat pembiasaan melahap karya-karya sastra agung yang berkisah tentang kekejaman, pergolakan sekte agama berdarah-darah.

The Name of The Rose karangan Umberto Eco adalah salah satu bacaan wajib bagi siapa saja yang ingin menghayati betapa bengisnya akibat yang ditimbulkan ketika penguasa kerajaan dunia dan penguasa gereja bersekutu atau berseteru.

Dalam novel yang dikagumi banyak pembaca di berbagai negara yang menerjemahkannya ke bahasa nasional mereka itu, Eco memang tak bicara tentang hoaks atau esensinya. Namun, karya yang versi Indonesianya diterjemahkan oleh Nin Bakdi Soemanto, istri sastrawan dan peneliti sastra Bakdi Soemanto itu, dapat mendewasakan pembaca dalam menghadapi hoaks, terutama kabar bohong yang berpusat di persoalan iman.

Hoaks yang disebarkan untuk mengobarkan api kebencian atas dasar perbedaan keimanan akan menjadi tak bermakna ketika pembaca menyadari bahwa kebenaran dalam perkara iman hanya bisa diselesaikan lewat perdamaian antara diri pribadi dan sang penguasa semesta.

Ketika perkara keyakinan itu dijadikan bahan perbincangan publik, apalagi dalam ajang perebutan kursi kekuasaan, dan disebarkan dengan sedikit bumbu fakta palsu, yang tersaji di hadapan publik adalah hoaks.

Namun, semua itu akan berlalu begitu saja, tak menimbulkan reaksi penuh kegaduhan ketika para pembaca menyadari bahwa keyakinan religius harus dilepaskan dari perkara kekuasaan duniawi agar pengalaman getir di abad-abad kegelapan, ketika agama dan politik dicampur aduk melahirkan tragedi kemanusiaan. Kesadaran semacam inilah yang bisa ditumbuhkan lewat pembiasaan membaca teks sastra.

(T.M020//M029)

Pewarta: Mulyo Sunyoto
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2018