Kala senja menjelang di Semarang, ibu kota Provinsi Jawa Tengah, kisah-kisah di antara seluk-beluk kota yang sudah dirintis sejak abad ke-8 Masehi itu seakan bermunculan satu demi satu.

Bersamaan dengan lampu-lampu jalanan yang bersinar terang, rangkaian cerita tersebut menjelma dalam berbagai bentuk seperti gedung, jalan raya dan tentunya makanan.

Untuk mendapatkan itu semua dalam satu ruang, mari beranjak sejenak ke sebuah kawasan tempat bermukimnya masyarakat Tionghoa yang disebut Pecinan di Semarang Tengah.

Selain bisa menikmati beberapa gedung yang sudah berusia puluhan bahkan ratusan tahun seperti klenteng Siu Hok Bio yang berdiri sejak sekitar tahun 1753, pengunjung juga dapat mencicipi makanan khas yang dijajakan di Pasar Semawis.

Pasar Semawis, Semawis kependekan dari Semarang untuk Pariwisata, memang menjadi pusat wisata kuliner malam hari di Semarang. Disana, anda bisa menemukan banyak ragam makanan seperti es krim, aneka sate (termasuk sate gurita), soto dan nasi goreng.

Dari antara makanan-makanan itu, ada pula yang menyandang gelar makanan klasik yang khas Semarang misalnya lunpia, pisang plenet dan wedang tahu. Lunpia sepertinya menjadi santapan ringan asal Semarang yang paling dikenal oleh masyarakat Indonesia. Olahan yang berasal dari budaya Tionghoa ini bentuknya seperti risol dengan kulit luar yang garing dengan macam-macam isian terutama rebung yang menjadi ciri khasnya sejak dahulu.

Mungkin yang masih asing di lidah dan telinga orang non-Semarang adalah pisang plenet dan wedang tahu. Secara umum, pisang plenet adalah pisang bakar yang dipipihkan atau dalam bahasa Jawa "diplenet". Penganan yang sudah berumur lebih dari 50 tahun ini terasa sedap karena dicampur dengan variasi "topping" atau atasan layaknya serbuk gula, cokelat butir, selai atau keju.

Dan, mari membahas lebih khusus tentang wedang tahu, atau yang biasa juga disebut kembang tahu. Makanan ini, sama seperti lunpia, datang dari budaya Tionghoa. Wedang tahu memperlihatkan dengan gamblang betapa kentalnya pencampuran atau akulturasi budaya yang terjadi di Semarang dan, secara umum, di Indonesia.

Tionghoa-Semarang
Di salah satu pojok Pasar Semawis, Ani duduk dengan sabar di balik mangkuk-mangkuk dan sebuah panci besar. Di dalam tendanya tertulis besar "Wedang Tahu".

"Semangkuknya Rp8.000," ujar Ani ketika pembeli menanyakan harga jualannya.

Pesanan datang, tangan Ani sigap menyendok bahan-bahan ke dalam mangkuk berwarna putih. Tampilannya sekilas mirip bubur sumsum karena terdiri atas kembang tahu yang berwarna putih dan jahe hangat berwarna cokelat bening.

Ketika sendok berbahan aluminium berisi cairan jahe dan kembang tahu masuk ke mulut, rasa hangat dan langsung menyelimut kerongkongan. Juga bercampur manis yang berasal dari gula.

Begitu kembang tahu yang berwarna putih itu menyentuh lidah, orang bisa langsung mengira bahwa itu adalah susu kedelai, tetapi dalam bentuk lebih padat.

Tidak heran, karena kembang tahu sejatinya produk dari rebusan kedelai yang juga menjadi bahan baku pembuatan tahu.

"Rasa kembang tahunya memang murni rasa sari kedelai. Manisnya dari gula yang dicampur ke air jahe," tutur Febrina, seorang pembeli yang datang dari Pasuruan, Jawa Timur.

Ani, sang penjual, menyebut wedang tahu masih cukup banyak dijual di Semarang dan sekitarnya. Bahkan, selain dengan gerobak, masih ada yang dijual dengan berkeliling, entah itu naik sepeda atau dipikul.

Meski tampilannya sederhana, ternyata wedang tahu memiliki sejarah panjang dan nilai-nilai budaya yang tinggi. Dosen sejarah Universitas Sanata Dharma Heri Priyatmoko menyebut, wedang tahu pertama kali masuk ke Semarang pada akhir abad ke-19 oleh seorang Tionghoa bernama Ong Kiem Nio.

Dalam tulisannya berjudul "Silang Sejarah dan Budaya" yang dimuat di Koran Jakarta, Jumat 18 September 2015, Heri mengungkapkan awalnya wedang tahu dijual hanya dengan dipikul, bukan gerobak. Lalu, bahannya berbeda dengan yang ada saat ini.

Dahulu, dia melanjutkan, wedang tahu di kemunculan perdananya dibuat dari sari kedelai yang beraroma jahe dan dicampur dengan kembang tahu. Lalu ditambahkan pula udang-udang kering kecil (rebon), kecap asin, irisan sayur, daun bawang serta ketumbar.

"Saat itu, wedang tahu dinikmati sembari menggigit cakwe atau mantou (sejenis bakpao China)," tulis Heri.

Sejak dibawa oleh Ong Kiem Nio, wedang tahu ternyata semakin populer di lidah masyarakat Semarang. Namun, perkembangan zaman ternyata membawanya ke bentuk yang lain.

Bentuk awal wedang tahu yang gurih ternyata lama kelamaan ditinggalkan. Masyarakat mengolahnya dengan cara yang berbeda dan membuatnya bercita rasa manis seperti saat ini.

Kembang tahu yang berasal dari sari kacang kedelai kini bisa pula digantikan dengan susu kedelai yang dicampur dengan serbuk agar-agar. Lalu kuahnya dibuat dari rebusan jahe yang dicampur gula (gula pasir atau gula merah) dan, agar lebih harum, ditambahkan daun pandan, daun jeruk, kayu manis hingga cengkeh.

"Waktu merambat pelan, orang lain rupanya kepincut untuk ikut menjajakannya seraya mengakrabkan dengan lidah penghuni Semarang lintas etnis dan kelas," tutur Heri.

Dalam prosesnya minuman wedang tahu ini ditemukan pula di wilayah Pecinan di daerah-daerah lain di Indonesia dengan nama yang berbeda-beda, tulis Heri.

Di Solo, Jawa Tengah, wedang tahu disebut "tahoek"; di Surabaya, Jawa Timur disebut "tahuwa"; di Singkawang, Kalimantan Barat disebut "bubur tahu"; di Palembang, Sumatera Selatan dan Bangka Belitung dikenal sebagai kembang tahu.

Kentalnya akulturasi budaya dalam kuliner seperti wedang tahu semakin membuka mata kita bahwa Indonesia memang berdiri di atas keberagaman. Budaya Indonesia merupakan hasil dari pergaulan masyarakat dari berbagai suku bangsa yang sudah berlangsung sejak beratus-ratus tahun lalu.

Menyantap semangkuk wedang tahu menggelitik kesadaran bahwa hubungan sosial antarwarga di tanah Indonesia diikat oleh kemajemukan yang terbina selama berabad-abad. Makanan seperti wedang tahu seharusnya menjadi perekat kebangsaan yang akhir-akhir ini diguncang dengan isu-isu SARA.

Heri menyimpulkan begini. "Aspek makanan merupakan perekat relasi sosial yang ampuh. Buktinya, kita menyantap hasil olah kreasi tanpa menyoal perbedaan etnis".

Baca juga: Di Semarang 310 tumpeng sambut 1 Muharram
Baca juga: Anis Matta puji kelezatan kepala manyung Semarang

Pewarta: Michael Teguh Adiputra S
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2018