Jutaan pemudik yang setiap tahun melintasi jalur pantai utara Pulau Jawa untuk merayakan Lebaran di kampung halaman, bisa jadi tidak pernah menyadari kalau jalan yang mereka tempuh sepanjang 1.228 km dari Anyer, Banten, sampai Panarukan di Jawa Timur, pada masa lalu dibangun penuh dengan ceceran darah, keringat, dan mayat para pekerja paksa.

Jalur di pantai utara Pulau Jawa yang dikenal masyarakat umum sekarang ini, dulunya disebut Jalan Raya Pos atau De Grote Postweg yang dibangun Gubernur Jendral kolonial Belanda, Herman Willem Daendels, sehingga lebih populer dengan sebutan Jalan Daendels.

Masyarakat umum selama ini hanya mengetahui bahwa Jalan Daendels adalah jalan yang membentang dari ujung paling barat sampai timur Pulau Jawa, padahal sebenarnya ada juga jalan Daendels di Pulau Jawa. Satunya lagi adalah yang berada di pantai selatan.

Jalan Deandeals di pantai utara dibangun Daendels yang menjabat gubernur jenderal Hindia Belanda antara 1808 sampai 1811, sementara Jalan Daendels di selatan hanya sepanjang sekitar 130 km antara Cilacap dan Bantul, Yogyakarta dan dibangun AD Daendels pada 1838 dan disebut Belangrijke Wegen atau Jalan Raya Utama. Catatan sejarah hanya menyebut singkatan nama AD Deandels, tanpa nama lengkap.

Selain dua orang yang berbeda, kedua Daendels itu juga hidup pada masa yang berbeda pula. Dari kepangkatan, Daendels (Hendrik Willem) mempunyai posisi lebih tinggi sebagai penguasa seluruh daerah jajahan di Hindia Belanda, sementara Daendels yang lain (AD) hanya berpangkat asisten residen yang membawahi beberapa kabupaten.

Dari kedua jalan itu, adalah Jalan Daendels di pantai utara Pulau Jawa yang paling dikenal dan sampai lebih dari dua ratus tahun setelah pembangunannya, menjadi jalur transportasi penting dan menjadi urat nadi perekonomian di Pulau Jawa.

Menurut sejarah, Daendels pertama kali mendarat di Anyer pada 5 Januari 1808 setelah ditunjuk Raja Belanda, Louis Napoleon, adik Kaisar Perancis, Napoleon Bonaparte, yang saat itu menduduki Belanda.

Tugas utama Daendels adalah mempertahankan Hindia Belanda dari ancaman Inggris yang ketika itu sudah menguasai India.

Pada awal masa Daendels, jarak antara Anyer dan Batavia harus ditempuh dalam waktu empat hari dan sama sekali tidak bisa dilalui jika musim hujan. Sementara dari Bandung ke Semarang memerlukan waktu 10 hari, waktu yang sangat lama bagi seorang Daendels.

Sebagai pimpinan tertinggi di Hindia Belanda, Daendels memerlukan tranportasi yang cepat dan efesien, tidak hanya untuk kepentingan operasi militer, tetapi juga sebagai pendukung kegiatan ekonomi, terutama untuk mengangkut hasil perkebunan ke pelabuhan dan selanjutnya dibawa Belanda.

Menurut Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya Jalan Raya Pos, Jalan Daendels, pembangunan Jalan Raya Pos dari Anyer sampai ke Panurukan itu sebenarnya bukanlah pembangunan jalan baru, tapi lebih tepatnya meningkatkan kualitas atau memperlebar jalan yang sudah ada.

"Warisan" jalur lebih dari 1.000 kilometer yang dibangun penuh darah dan penderitaan Bumiputera masih ada sampai kini. Warga di Jakarta masih mengenal kawasan Pos Pengumben, di Jakarta Barat, di perbatasan Kebun Jeruk-Kebayoran Lama. 

Dulu, di situlah Daendels membangun pos dan istal kuda untuk keperluan transportasi dan pos. Di situlah kuda-kuda pos dan kereta ditukar dan dirawat setelah menapaki jalan dari barat ke timur Pulau Jawa melalui sisi utaranya. 

Tapi memang ada beberapa ruas jalan yang sama sekali dibangun baru, yaitu jalan yang menghubungkan Bogor dan Cirebon yang harus melewati daerah berbukit dan merupakan pembangunan paling sulit dan memakan paling banyak korban jiwa.

Pembangunan Jalan Pos diawali dari ruas Anyer-Batavia dan menjadi awal penderitaan rakyat Indonesia yang dipaksa bekerja rodi. Puluhan ribu pekerja paksa dinyatakan meninggal akibat kelelahan dan penyakit.

Setelah Anyer-Bogor selesai, pembangunan pun dilanjutkan ke arah Bandung, Jatinagor, Sumedang, Palimanan dan Cirebon. Dengan demikian, jalan antara Jakarta (Batavia), Bekasi, Karawang dan Cikampek sebenarnya tidak termasuk dalam jalan yang dibangun Daendels meski merupakan bagian dari jalur pantai utara Pulau Jawa.

Dari Cirebon, pembangunan atau peningkatan kualitas dan lebar jalan diarahkan ke Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan, Batang, Kendal, Semarang, Demak, Kudus, Pati, Rembang, Lasem, Pasuruan, Probolinggo, dan berakhir di Panarukan yang ketika itu merupakan pelabuhan penting di Pulau Jawa.

Daendels yang dikenal kejam, ganas, dan bengis, sehingga mendapat julukan Jendral Guntur, Marsekal Besi, dan Raden Mas Galak, hanya membutuhkan waktu satu tahun untuk merampungkan seluruh pembangunan Jalan Raya Pos, dan ketika itu merupakan sebuah prestasi luar biasa di Eropa.

Hasil dari pembangunan itu, waktu tempuh antara Batavia-Surabaya yang sebelumnya harus ditempuh selama 40 hari berhasil dipangkas menjadi hanya tujuh hari. Selain memperlancar pergerakan militer Belanda, hasil bumi berkat tanam paksa (cultuur stelsel) pun menjadi lebih mudah dikirimm ke pelabuhan Cirebon.

Namun pembangunan jalan bersejarah itu harus dibayar mahal dengan ceceran darah dan air mata sekitar 15.000 pekerja yang menemui ajal karena tidak mendapat istirahat dan tidak diberi makan yang cukup atau disapu penyakit malaria. Menurut Pramoedya, banyak di antara mereka yang tidak dikuburkan secara layak sehingga menyebarkan penyakit.

Sampai sekarang, para ahli sejarah masih berdebat soal jumlah pekerja yang tewas, maupun status mereka sebagai pekerja rodi.

Ada pendapat mengatakan, jumlah yang tewas berjumlah sekitar 24.000 orang dan para pekerja itu mendapat bayaran saat membangun jalan antara Bogor dan Cirebon.

Tetapi karena Belanda kehabisan uang untuk pembangunan jalan Cirebon-Panarukan sepanjang lebih dari 800 km, Daendels kemudian bekerjasama dengan penguasa pribumi agar memobilisi rakyat di setiap kabupaten yang dilalui.

Pada saat itulah, wabah malaria yang ketika itu merupakan pembunuh nomor satu menyapu para pekerja yang dalam kondisi lemah akibat kurang istirahat dan tidak diberi makan secara layak.

Setelah lebih dari 200 tahun menjadi urat nadi perekomonian yang penting di Pulau Jawa, Jalan Daendels seperti terlupakan dan perannya pun semakin berkurang akibat kehadiran jalan tol TransJawa. Tersambungnya tol TransJawa dari Merak sampai Surabaya dalam beberapa tahun ke depan, akan membuat Jalan Daendels berubah menjadi monumen sejarah.

Namun saat mudik Lebaran maupun pada hari-hari penting lain, jalur pantai utara Pulau Jawa tetap menjadi sangat penting bagi pemudik yang menggunakan sepeda motor karena mereka tidak boleh melewati jalan tol.

Seperti yang terlihat pada saat arus mudik dan arus balik Lebaran 2018, Jalur pantai utara Pulau Jawa seperti dikuasai para pemudik bersepeda motor. Puluhan ribu pemudik bersepeda motor dari arah Jakarta dan sekitarnya, menyemut saat beriring-iringan dan kemudian menyebar menuju berbagai daerah di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Timur.

Situasi yang hampir sama juga terjadi di jalur selatan. Tapi jalur selatan mempunyai karakteristik alam yang lebih menantang karena melewati daerah berbukit dan tebing, sementara jalur pantai utara Pulau Jawa lebih monoton karena hanya berupa jalan lurus dan gersang.

Pewarta: Atman Ahdiat
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2018