Program penguatan pendidikan karakater tidak cukup hanya diberikan kepada peserta didik, tetapi literasi yang berkelanjutan untuk guru menjadi harga mutlak.
Jakarta, (Antara/Jacx) - Kata "literasi" akhir-akhir ini menjadi kata yang cukup populer diucapkan banyak kalangan dikaitkan dengan upaya menangkal berita bohong alias hoaks di media sosial yang penyebarannya telah mengkhawatirkan karena ikut menyasar generasi muda sebagai pengguna internet terbesar.

Masyarakat kini sangat mudah terprovokasi oleh postingan-postingan di media sosial yang belum pasti kebenarannya. Fenomena tersebut terjadi karena peningkatan pengguna internet belum dibarengi dengan peningkatan literasi digital.

Hasil survei CIGI-Ipsos 2016, sebanyak 65 persen dari 132 juta pengguna internet di Indonesia percaya dengan kebenaran informasi di dunia maya tanpa cek dan ricek. Akibatnya, penyebaran konten negatif, seperti ujaran kebencian, berita bohong, intoleransi dan radikalisme menjadi ancaman besar saat ini, khususnya bila melihat pengguna internet di Indonesia yang berasal dari kalangan anak-anak dan remaja diprediksi mencapai 30 juta dengan potensi risiko yang mereka hadapi dalam dunia digital.

Masifnya penyebaran konten negatif di kalangan generasi muda patut menjadi perhatian orang tua, guru, dan sekolah karena generasi muda identik dengan siswa SD, SMP, dan SMA merupakan target empuk, baik sebagai penerima maupun sasaran untuk ikut menyebarkan hoaks.

Literasi, bahkan di tingkat yang paling dasar, masih menjadi persoalan di Indonesia. Kemampuan membaca masyarakat Indonesia relatif sangat rendah. Menurut riset UNESCO 2012, hanya 1 dari 1.000 orang di Indonesia yang membaca buku. Tidak heran bila literasi Indonesia, menurut riset Central Connecticut State University 2016, berada di tingkat kedua terbawah dari 61 negara, hanya satu tingkat di atas Botswana.
Ilustrasi - Sejumlah peserta siswa sekolah saat mengikuti Olimpiade Speedy Cerdas babak final Tingkat SD/SMP/SMU se Indonesia di Kantor Telkom Jakarta Selatan, Jakarta, Selasa (3/4). (FOTO ANTARA/Reno Esnir)
Rendahnya minat membaca bangsa Indonesia, ironisnya berbanding terbalik dalam penggunaan internet dan media sosial yang termasuk tinggi. Asosasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menyatakan pengguna internet di Indonesia mengalami pertumbuhan luar biasa. Jumlah pengguna internet mencapai 132,7 Juta orang atau melampaui setengah total penduduk Indonesia, yakni sebesar 51,8 persen.

Namun, sayangnya penggunaan internet belum untuk kegiatan bersifat produktif. Kebanyakan untuk aktivitas hiburan media sosial. Tidak heran bila kemudian berita sampah, berita bohong (hoaks), dan berita palsu (fake news) tumbuh subur di tengah masyarakat.

Pemanfaatan internet dan media sosial yang tidak diimbangi literasi digital menyebabkan berita bohong alias hoaks merajalela di Indonesia. Informasi menyesatkan banyak beredar melalui aneka jalur digital, termasuk situs online dan pesan chatting.

Kerisauan masyarakat terhadap gencarnya informasi yang berlalu-lalang di media sosial hanya bisa diselesaikan melalui pembelajaran tentang literasi. Literasi yang sering diartikan sebagai kemampuan membaca dan menulis saja, kenyataan tidak sebatas membaca dan menulis, tetapi sejumlah literasi perlu dikuasai seseorang dalam memasuki abad 21, antara lain, literasi komputer, literasi media, dan literasi digital.

Masyarakat Indonesia kini dihadapkan pada persoalan rendahnya budaya literasi sekaligus penggunaan internet yang belum produktif sehingga sekolah merupakan satu-satunya harapan untuk membangun budaya melek aksara agar generasi penerus bangsa ini menjadi kelompok cerdas dalam memilah-milah informasi.

Sebuah keniscayaan ketika sekolah menuntut peserta didik untuk membaca buku tetapi tidak dibarengi dengan kesiapan guru dan kepala sekolah. Pembiasaan untuk membaca sebagai salah satu bagian dari literasi perlu disepakati tidak hanya menjadi tanggung jawab guru mata pelajaran bahasa Indonesia, seperti yang berlaku selama ini, tetapi hakikatnya seluruh guru mata pelajaran.

       
                           Guru Digugu Ditiru
  Di sekolah, guru memegang kendali penuh terhadap peserta didik, baik atau tidaknya pembelajaran dalam kelas bergantung pada guru sebagai ujung tombaknya. Peran guru selayaknya sangat diperlukan untuk memberikan edukasi kepada masyarakat, khususnya kepada peserta didik dalam menyaring informasi dan bukan sebaliknya guru menjadi sumber penyebab perpecahan.

Sungguh ironis ketika guru yang seharusnya digugu dan ditiru tampil sebagai sosok yang dapat diteladani siswanya, justru menjdi oknum penyebar ujaran kebencian melalui media sosial, seperti pada sejumlah kasus yang terjadi belakangan. Misalnya, guru RPH (48 tahun) di Rangkasbitung, Lebak, Banten atau pada kasus oknum guru FSA d Kayong Utara, Kalimantan Barat sebagai tersangka penyebar hoaks soal serangan bom Surabaya.

Sekolah dan guru seharusnya melahirkan ide-ide pembelajaran, melahap buku-buku dan literatur berbagi ilmu, menyiapkan generasi cerdas, dan tidak seharusnya malah menyebarkan berita palsu dan permusuhan dengan sentimen SARA.

Program penguatan pendidikan karakater yang digencarkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaaan sejak 2016 melalui gerakan literasi sekolah sayangnya hanya fokus pada siswa semata dan tidak ikut menyiapkan guru dengan keterampilan literasi memadai.

Guru seharusnya menjadi agen perubahan bukan justru sebaliknya malah mencoreng wajah pendidikan. Berkaca pada kasus penyebaran berita hoaks oleh oknum guru maka pemerintah, baik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan maupun Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, sudah sepatutnya mengambil sikap.

Program penguatan pendidikan karakater tidak cukup hanya diberikan kepada peserta didik, tetapi literasi yang berkelanjutan untuk guru menjadi harga mutlak. Fakta bahwa pendidikan di Indonesia masih dihadapkan pada persoalan kualitas guru yang dapat disimak dari hasil uji kompetensi guru (UKG) tahun 2015. UKG hanya mencapai nilai rata-rata 53,02 persen dan kompetensi calon guru hanya mencapai 44 persen. Data tersebut mengindikasi kualitas guru di Indonesia masih jauh dari memadai, rata-rata secara nasional hanya 44,5 atau jauh di bawah nilai standar 75.

Permasalah rendahnya budaya literasi di Indonesia diakui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy tidak lepas dari faktor kesejarahan dan terjadi bersifat multikompleks. Tumbuhnya sekolah-sekolah dasar setelah kemerdekaan bertujuan menghapuskan buta huruf untuk 90 persen masyarakat di Indonesia sehingga target pembelajaran di sekolah sekadar siswa mampu membaca, tetapi tidak sampai mampu membaca cerdas.

Mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) itu mengatakan bahwa kondisi tersebut diperparah dengan terlalu dominannya metode ceramah serta keengganan guru menerapkan cara belajar siswa aktif (CBSA). Masalah tersebut, diwariskan dari generasi ke generasi, termasuk para guru juga mewarisi cara belajar yang didapat dari guru-guru mereka sebelumnya.

Sekolah pada zaman kini membutuhkan guru yang mampu membangun karakter dan literasi siswa. Lebih penting lagi, guru yang memiliki integritas tinggi dalam meningkatkan kualitas pendidikan, guru-guru yang ikut gemar membaca dan membiasakan berpikir kritis, baik untuk diri sendiri maupun kepada siswa, sehingga menjamin rasa aman kepada orang tua yang menitipkan anak-anaknya di sekolah.

*Zita Meirina adalah redaktur senior dan anggota Ombudsman LKBN Antara 

Pewarta: Zita Meirina*
Editor: Panca Hari Prabowo
Copyright © ANTARA 2018