Jakarta (ANTARA News) - Kalangan DPR/MPR berharap Presiden Susilo bambang Yudhoyono tetap tenang, berkonsentrasi menangani tugas tugas negara dan tidak terpengaruh dengan persoalan yang sebenarnya bisa ditangani para pembantunya.
Wakil Ketua Fraksi PDIP DPR, Ramson Siagian, di Gedung DPR/MPR Jakarta, Senin, menyatakan bisa memahami betapa sakitnya menahan perbuatan, yakni berupa fitnah, tetapi sebagai kepala Negara, Presiden tetap harus menunjukkan kenegarawanannya.
Presiden harus mementingkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan kelompok. Respon yang perlu dikedepankan adalah hal-hal yang berkaitan dengan upaya-upaya mengatasi kehidupan rakyat yang makin sulit.
"Akan lebih elok bila SBY tetap mengedepankan penyelesaian persoalan bangsa yang belum seluruhnya bisa terpecahkan oleh pemerintahannya. Presiden harus berkonsentrasi menyelesaikan tugas-tugas itu, bukan mengurusi Zaenal. Itu (Zaenal) bisa dikerjakan anak buahnya," kata Ramson Siagian.
Selaku Kepala Negara dan kepala pemerintahan, Presiden cukup menugaskan anak buahnya, baik yang ada di pemerintahan, partai atau kuasa hukumnya untuk memproses secara hukum.
"Sebagai anggota DPR, saya risih melihat tingkah Zaenal yang mengungkap masalah pribadi dan masa lalu seseorang yang belum tentu benar," katanya.
Sementara itu, Anggota Komisi I DPR, Dr Yuddy Chrisnandi, mengharapkan Presiden bisa lebih tenang dan bijak menghadapi persoalan kecil terkait manuver Zaenal Maarif. Tanpa disadari, polemik-polemik itu telah membebani rakyat dan tidak bermanfaat bagi pembangunan nasional.
Hal senada juga disampaikan Wakil Ketua MPR yang juga anggota DPR, AM Fatwa. Dia berharap, Presiden tetap berkonsentrasi menangani tugas negara dan tidak terpengaruh dengan isu yang dilontarkan Zaenal.
"Presiden itu simbol negara. `Ngapain` mengurusi hal-hal kecil seperti itu. Lebih baik mengurusi persoalan lebih besar untuk kepentigan rakyat," katanya.
Teman se-angkatan Presiden Yudhoyono saat di Taruna Akabri, Brigjen (Purn) Widya Bagya mengemukakan tuduhan Zaenal bahwa Yudhoyono sudah menikah sebelum masuk taruna sulit dibuktikan.
Akabri saat itu dan hingga kini sangat ketat dalam meneliti dan menyeleksi calon taruna. Bahkan ketika taruna sudah diterima pun, masih ada penelitian dan penyelidikan langsung atas berkas dan perilaku taruna.
"Saya teman se-angkatan Yudhoyono, yaitu Angkatan 1970 dan kita selesai tahun 1973. Selama tahun pertama, satu kamar dengan taruna yang kemudian menjadi lulusan terbaik dan mendapat tanda kehormatan Adhi Makayasa itu," kata Widya Bagya.
Widya Bagya yang pernah menjadi staf ahli Panglima TNI 2001-2006 (masa Widodo AS dan Endriartono Sutarto ) mengungkapkan selama masa pendidikan di taruna, Yudhoyono dikenal sangat serius, hati-hati dan terkesan kaku, apalagi dengan perempuan, SBY sangat menghormati dan tidak berani "macam-macam".
"Kalau saja ada taruna yang terbukti menikah sebelum masuk diberhentikan. Soal seperti ini Akabri sangat tegas. Ada teman angkatan dan sebelumnya yang dipecat dari Akabri karena terbukti menghamili wanita saat pesiar atau libur," kata Widya.
Widya Bagya juga mengungkapkan taruna Akabri tidak lepas dari pakaian dinas sepanjang tahun, termasuk saat pesiar atau liburan dan juga saat Hari Raya Idul Fitri atau Natal.
"Kalau ada taruna yang nakal atau `macam-macam`, akan dengan jelas terlihat dan bisa diketahui pihak lain. Bentuk pengawasan tak langsung. Jika ada yang melanggar, kena hukuman tiga bulan tak boleh pesiar," katanya.
Karena itu, kata Widya, sangat tidak mungkin Yudhoyono melakukan hal yang dituduhkan Zaenal Maarif. Pihaknya sangat prihatin dengan polemik yang tak sehat ini.
Dia mengakui dirinya jarang bertemu langsung dengan Yudhoyono, kecuali bila ada pertemuan angkatan. Dalam pertemuan teman angkatan terakhir, yakni Sabtu lalu (28/7), Yudhoyono bertemu dengan para mantan jenderal teman seaangkatannya di Akabri.
"Saya mendengar para mantan jenderal meminta Yudhoyono menuntaskan masalah ini hingga ke proses hukum, karena menyangkut nama baik presiden dan juga institusi Akabri," katanya. (*)
Pewarta:
Copyright © ANTARA 2007