Jakarta (ANTARA News) - Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kecuk Suhariyanto menyatakan peningkatan impor barang modal pada Januari-Mei 2018 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya diharapkan dapat digunakan untuk meningkatkan investasi.

Kepala BPS Kecuk Suhariyanto di Jakarta, Senin menyatakan, bila dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, maka impor barang modal mengalami peningkatan 3,18 miliar dolar AS atau naik 33,73 persen.

Kenaikan tersebut dinilai lebih tinggi dibandingkan dengan peningkatan yang dialami nilai impor barang konsumsi pada periode yang sama dan bahan baku/penolong yang masing-masing meningkat sebesar 1,55 miliar dolar AS (27,75 persen) dan 10,68 miliar dolar AS (22,59 persen).

Menurut dia, melesatnya impor barang modal seperti mesin dan alat kelistrikan merupakan hal yang lumrah di tengah-tengah fokus pemerintah menggenjot investasi.

Diharapkan dengan terbenahinya infrastruktur di Tanah Air, maka ke depannya tingkat investasi di berbagai daerah di Nusantara juga dapat ikut melesat.

Sementara itu, peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Novani Karina Saputri menyatakan rencana Bank Indonesia (BI) untuk menaikkan suku bunga bakal berpengaruh kepada investasi di sektor riil nasional.

Selain itu, Novani juga mengutarakan harapannya agar peluncuran Online Single Submission (OSS) beberapa waktu lalu dapat efektif untuk meningkatkan kemudahan berinvestasi dengan menyederhanakan regulasi pendaftaran untuk berinvestasi di Tanah Air.

"Penerapan OSS seharusnya efektif untuk memotong jalur birokrasi terkait perizinan," paparnya.

Menurut dia, birokrasi yang panjang menghabiskan banyak waktu dan biaya seringkali dikeluhkan oleh para investor, baik dalam maupun luar negeri.

Saat ini, lanjutnya, ada 69 regulasi untuk pendaftaran menjadi bisnis legal, yang masih diikuti dengan adanya izin bangunan, izin gangguan (masih diberlakukan di beberapa daerah). Hal ini berdampak pada minat investor di awal untuk membuka bisnis di Indonesia.

"Hasil penelitian kami menunjukkan, seharusnya ada dokumen yang digabung dan ditiadakan dalam proses pengurusan perizinan," katanya.

Menurut dia, penyederhanaan ini akan menghemat waktu juga menghemat biaya yang dikeluarkan oleh pelaku usaha, hal itu akan berdampak positif pada peringkat kemudahan berinvestasi di Indonesia dan juga iklim usaha itu sendiri.

Hasil penelitian tersebut merekomendasikan beberapa hal, seperti diperlukan adanya penggabungan antara Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) dan Tanda Daftar Perusahaan (TDP). Hal ini dikarenakan kedua dokumen ini memiliki karakteristik yang sama sehingga dapat digabungkan menjadi satu jenis dokumen.

Selain itu, ujar dia, penerbitan SIUP dan TDP secara bersamaan seharusnya tidak lebih lama dari tiga hari kerja sejak tanggal diterimanya permohonan yang lengkap dan benar.

Namun, meskipun Peraturan Menteri menjelaskan pembentukan SIUP dan TDP dilaksanakan secara daring dan secara bersamaan melalui layanan terintegrasi satu pintu, implementasi nyata di area tersebut menunjukkan bahwa untuk mendapatkan SIUP, pelaku harus terlebih dahulu menyelesaikan TDP.

"Hal ini terjadi karena peraturan daerah masih menafsirkan dua jenis dokumen ini sebagai dua dokumen terpisah. Hasil analisis regulasi diketahui bahwa sebenarnya ada kesamaan duplikasi pernyataan dalam pengelolaan SIUP dan TDP. Selain itu, ada esensi informasi yang disampaikan dalam dokumen-dokumen yang identik, yaitu tentang informasi perusahaan," jelasnya.

Baca juga: Kebijakan pemerintah perlu difokuskan pada peningkatan daya beli pekerja

Baca juga: Penerbangan domestik dari Bali naik 5,23 persen

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2018