Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah menetapkan sebanyak 25 kontrak minyak dan gas dengan skema bagi hasil kotor (gross split) sejak 2017 hingga Juni 2018.

Sembilan di antara 25 kontrak gross split itu merupakan hasil lelang blok migas pada periode 2017-2018, kata Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama Kementerian Energi Sumber Daya Mineral Agung Pribadi di Jakarta, Jumat,

Menurut dia, komitmen pasti investasi ke-25 kontrak migas itu mencapai sekitar satu miliar dolar AS atau setara Rp14 triliun.

"Komitmen pasti investasi senilai satu miliar dolar itu, besar sekali. Angka investasi tersebut jauh lebih besar jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Ini adalah hasil upaya kami menciptakan iklim investasi migas yang menarik selama dua tahun terakhir," ujarnya.

Menurut dia, dengan gross split, birokrasi dan pengadaan investasi menjadi lebih efisien dibandingkan skema pengembalian biaya operasi (cost recovery) yang berlaku sebelumnya.

Dampaknya, kegiatan eksplorasi, penemuan cadangan, hingga tambahan produksi migas juga bisa lebih cepat dibandingkan cost recovery.

Dengan skema cost recovery selama ini, waktu penemuan cadangan hingga komersialisasi bisa mencapai 15 tahun.

Menurut dia, sejak 2017, ada sembilan blok migas telah ditetapkan pemenang lelangnya.

Sementara dua tahun sebelumnya (2015-2016), tidak ada satu pun blok migas yang laku dilelang.

Agung juga menambahkan kepastian investasi migas juga didukung dengan cepatnya pemerintah mengambil keputusan.

Blok migas terminasi pada 2018, 2019 dan 2020, bahkan sudah diputuskan.

"Hal ini tidak pernah dilakukan sebelumnya. Percepatan pengambilan keputusan tentu memberikan kepastian bagi para kontraktor dan membuat iklim investasi lebih kondusif," ujarnya.

Peningkatan investasi migas dengan skema gross split, lanjutnya, membuat penerimaan negara lebih pasti dan lebih besar.



Insentif "Gross Split"

Agung juga mengatakan setidaknya ada tujuh insentif fiskal dengan menggunakan kontrak gross split.

Empat insentif di antaranya pada tahap eksplorasi yaitu bebas bea masuk impor atas barang operasi migas, PPN dan PPn BM tidak dipungut atas perolehan dan pemanfaatan barang dan jasa operasi migas, PPh Pasal 22 tidak dipungut atas impor barang operasi migas, dan pengurangan PBB 100 persen.

Tiga insentif berikutnya yaitu pemanfaatan aset bersama migas (cost sharing) tidak kena PPN, loss carry forward yakni biaya operasi sebagai pengurang pendapatan kena pajak diperpanjang dari lima menjadi 10 tahun, dan yang terakhir, biaya tidak langsung kantor pusat tidak dikenakan PPN.

"Insentif paling besar adalah indirect tax yang sekarang sampai first oil (mulai produksi). Dulu hanya sampai tahap eksplorasi dan tahap eksploitasi sampai dengan first oil dikenakan pajak. Insentif ini sesuai dengan usulan dari kontraktor yang meminta keringanan pajak dari tahap eksplorasi sampai eksploitasi," ungkapnya.

Sejumlah peraturan juga sudah disempurnakan agar investasi lebih menarik seperti PP terkait perpajakan cost recovery, Permen ESDM tentang gross split, dan PP tentang perpajakan gross split.

"Insentif tersebut sudah ada dan sudah jalan," jelasnya.

Selain itu, menurut dia, Permen ESDM Nomor 52/2017 tentang Perubahan atas Permen ESDM Nomor 8/2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split, dinyatakan kontraktor dapat diberikan tambahan persentase bagi hasil jika komersialisasi lapangan migas tidak mencapai keekonomian.

"Tambahan bagi hasil tersebut dapat ditetapkan saat persetujuan pengembangan lapangan migas. Ini adalah insentif konkret bagi kontraktor sehingga keekonomiannya menarik," kata Agung.

Baca juga: Kementerian ESDM sebut investasi meningkat tajam

Baca juga: Wamen ESDM jelaskan alasan skema gross split

Pewarta: Kelik Dewanto
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2018