London (ANTARA News) - Sastrawan terkemuka Indonesia, Taufiq Ismail, meluncurkan bukunya berjudul "Cendres sur Cendres" dengan membacakan sejumlah puisi dalam acara "Un Apres Midi Avec Taufiq Ismail" (Suatu Siang Bersama Taufiq Ismail) yang diadakan di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Paris, Prancis.

Atase Pendidikan KBRI Paris Surya Rosa Putra kepada ANTARA News, Minggu, mengatakan pihaknya memfasilitasi acara presentasi dan dialog tentang buku kumpulan puisi Taufiq Ismail yang berjudul "Cendres sur Cendres".

Buku setebal 595 halaman yang diterbitkan Majalah Sastra Horizon pada 2015 itu, merupakan versi bahasa Prancis dari buku "Debu di Atas Debu".

Acara digelar sebelum ulang tahun ke-83 sastrawan kondang itu, juga dihadiri Dubes RI untuk Prancis, Monaco, dan Andorra, Hotmangaradja Pandjaitan serta para penikmat dan pelaku seni yang di Prancis.

Dialog yang dipandu Etienne Naveau, staf pengajar Institut National des Langues et des Civilisations Orientales (Inalco) Paris, penerjemah buku kumpulan puisi tersebut, dikoordinasi oleh asosiasi Pasar Malam, Organisasi Franco-Indonesia yang bergerak dalam promosi literasi Indonesia di Prancis.

Taufiq mengemas presentasinya dengan membacakan empat puisi bersama Etienne dan Odile, salah seorang warga Prancis penggemar karya-karya Taufiq.

Setiap puisi menggambarkan tonggak-tonggak perjalanan sastra Taufiq, sekaligus potret sejarah Indonesia saat itu.

Mengawali presentasinya, Taufiq membacakan puisi "Dengan Puisi, Aku", yang ditulisnya pada 1965.

Taufiq mengaku memilih berpuisi untuk dikenal orang karena tidak bisa meniru idolanya, ayahnya sendiri, seorang wartawan yang mahir dalam menulis esai.

Selanjutnya, Taufiq membacakan puisi-puisi terkait dengan observasinya pada masa-masa pergerakan 66. Salah satunya, Taufiq menangkap simpati dan dukungan masyarakat pada perjuangan gerakan 66 melalui puisi "Karangan Bunga".

Menurut Taufiq, puisi tersebut menggambarkan kedatangan tiba-tiba tiga anak kecil dengan karangan bunga untuk korban demonstrasi yang ditembak? mati.

Ia pun mengungkapkan keresahannya terhadap kondisi Indonesia yang terpuruk pada saat itu melalui puisi "Kembalikan Indonesia Padaku" yang ditulisnya di Paris pada 1971.

Dalam pemaparannya, ia membayangkan berbagai potret hari depan Indonesia, bila kondisi tersebut terus berlanjut.

Namun demikian, Taufiq juga menyisipkan optimisme terhadap apa yang terjadi melalui puisi lain, "Pantun Terang Bulan di Mildwest", pada tahun yg sama.

Etienne Naveau melihat puisi Taufiq kaya dengan tema, terutama tema cinta,politik dan religi.

Ia mengaku tertantang dengan puisi-puisi Taufiq karena nilai-nilai Minang yang ada di dalamnya.

Seorang pengamat sastra Prancis, M. Michel, menilai puisi-puisi Taufiq bukan sekadar karya sastra, akan tetapi juga karya jurnalistik. Pengamatan itu mengagetkan Taufiq, namun ia mengakuinya.

Pada akhir acara, Taufiq menyumbangkan beberapa buku "Cendres sur Cendres" dan beberapa buku non-komersial karya Taufiq lain untuk Perpustakaan KBRI Paris melalui Dubes RI untuk Prancis Hotmangaradja M. P. Pandjaitan.

Dari Paris, Taufiq bersama rombongan akan melanjutkan perjalanan ke Berlin untuk acara pengenalan "Debu di atas Debu" versi bahasa Jerman.

Ia menambahkan bahwa buku itu sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing, seperti Rusia, Arab, Belanda, Inggris dan Prancis.

Baca juga: Majalah Sastra Horison berhenti terbitkan versi cetak
Baca juga: Taufiq Ismail: komunis bantai 120 juta orang di 75 negara
Baca juga: Kelas puisi Taufiq Ismail di Festival Sastra Islam
Baca juga: Menyelami sastra di Rumah Puisi Taufik Ismail


 

Pewarta: Zeynita Gibbons
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2018