Bogor (ANTARA News) - Lima orang pimpinan KPK membicarakan masuknya tindak pidana korupsi ke dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Rancangan KUHP) dengan Presiden Joko Widodo.
   
"Pandangan saya sederhana sebenarnya, pertama rancangan (KUHP) itu benar dalam arti kita belum punya undang-undang. Itu salah satu cara mempunyai undang-undang dulu, yang kemudian meninggalkan warisan dari Belanda," kata Ketua KPK, Agus Rahardjo, di Istana Kepresidenan Bogor, Rabu.
   
Ia menyampaikan hal itu dengan didampingi para wakill ketua KPK, yaitu Alexander Marwata, Saut Situmorang, Laode M Syarif, dan Basaria Panjaitan. Selain pimpinan, hadir pula Kepala Bagian Perancangan Peraturan Biro Hukum KPK, Rasamala Aritonang.
   
Sedangkan dari pihak pemerintah, turut hadir Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Wiranto, Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H Laoly, Menteri Sekretaris Negara, Pratikno dan Sekretaris Kabinet, Pramono Anung.
   
"Namun, kami melihat sistem koordinasi yang mau diterapkan itu, kalau saya baca-baca mohon maaf Pak Yasonna, itu kan mengubah..." kata Rahardjo.
   
Menurut KPK, pasal korupsi dalam Rancangan KUHP masuk berpotensi mengurangi efektivitas upaya pemberantasan korupsi karena muncul ketidakpastian dan perlunakan terhadap pelaku kejahatan korupsi misalnya tidak ada sanksi pidana uang pengganti dan turunnya hukuman denda terhadap pelaku korupsi.
   
Ketua DPR, Bambang Soesatyo, secara terpisah, menyatakan, DPR akan mengesahkan RUU KUHP pada 17 Agustus 2018 sebagai kado kemerdekaan Indonesia.
   
KPK mengatakan, setidaknya ada 10 hal mengapa Rancangan KUHP berisiko bagi KPK dan pemberantasan korupsi yaitu:
(1) Kewenangan kelembagaaan KPK tidak ditegaskan dalam RUU KUHP,
(2) KPK tidak dapat menangani aturan baru dari United Nations Convention againts Corruption (UNCAC) seperti untuk menangani korupsi sektor swasta,
(3) RUU KUHP tidak mengatur pidana tambahan berupa uang pengganti, 
(4) RUU KUHP mengatur pembatasan penjatuhan pidana secara kumulatif,
(5) RUU KUHP mengatur pengurangan ancaman pidana sebesar 1/3 terhadap percobaan, pembantuan dan pemufakatan jahat tindak pidana korupsi, 
(6) Beberapa tindak pidana korupsi dari UU Pemberantasan Tipikor masuk menjadi Tindak Pidana Umum.
(7) UU Pemberantasan Tipikor menjadi lebih mudah direvisi,
(8) Kodifikasi RUU KUHP tidak berhasil menyatukan ketentuan hukum pidana dalam satu kitab Undang-undang,
(9) Terjadi penurunan ancaman pidana denda terhadap pelaku korupsi,
dan (10) Tidak ada konsep dan parameter yang jelas dalam memasukkan hal-hal yang telah diatur undang-undang khusus ke dalam RUU KUHP.

Pewarta: Desca Natalia
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2018